ILAFAT

Topan We
Chapter #30

Hari Ke 21

Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan. Suara jangkrik dan serangga malam menjadi latar belakang yang seolah menenangkan hati, namun di balik keheningan itu, ada sesuatu yang mengintai.

Dua santri, Wardi dan Rizal, tengah berjalan menyusuri lorong-lorong sempit di belakang pesantren. Mereka bertugas ronda malam, sebuah kewajiban yang diemban oleh setiap santri untuk menjaga keamanan pondok. Malam ini, seperti malam-malam lainnya, mereka berjalan beriringan, sembari membaca shalawat nabi dengan suara lirih. Setiap langkah mereka terasa berat, namun damai, seiring lantunan doa yang mengalun indah di bibir mereka.

"Ya Allah, semoga kita diberikan keselamatan," bisik Wardi pelan, matanya menatap lurus ke depan.

"Amin," jawab Rizal, menyambut dengan suara yang hampir tak terdengar.

Keduanya terus berjalan, melewati pepohonan rimbun yang menjadi batas antara pesantren dan hutan kecil di sekitarnya. Di belakang pesantren itu, suasananya lebih sunyi, seolah-olah dunia berhenti bergerak. Hanya lampu-lampu kecil di sepanjang jalan setapak yang menyinari kegelapan malam.

Namun, ketika mereka sampai di ujung jalan setapak, di dekat tembok pembatas pesantren, sesuatu yang aneh mulai terasa. Suasana malam yang biasanya tenang dan sejuk, tiba-tiba berubah. Wardi merasakan bulu kuduknya berdiri. Rizal pun merasakan hal yang sama. Mereka berhenti sejenak dan saling memandang, merasakan ketegangan yang mulai mengalir di udara.

"Apa kamu merasakannya Di?" tanya Rizal, suaranya bergetar.

Wardi mengangguk pelan, matanya masih menatap ke arah hutan yang gelap di ujung jalan. Tiba-tiba, terdengar suara seperti suara wanita yang menangis, pelan namun sangat jelas. Suara itu datang dari arah belakang mereka, tepat di antara pepohonan yang rimbun.

"Di... Wardi, suara siapa itu?" bisik Rizal, matanya melotot ketakutan.

Tanpa menunggu lebih lama, suara itu semakin mendekat, dan tiba-tiba terdengar suara tawa yang sangat nyaring dan menyeramkan. Wardi dan Rizal menoleh ke belakang, wajah mereka pucat pasi. Sosok yang muncul di tengah kegelapan itu sangat menakutkan. Seorang wanita berpakaian putih dengan rambut terurai, wajahnya pucat dan bermata merah, berdiri tegak dengan senyum lebar yang sangat menyeramkan. Itu adalah sosok kuntilanak.

Mata Wardi dan Rizal terbelalak. Mereka berdua merasa tubuh mereka beku, tak mampu bergerak. Suara tawa itu semakin terdengar jelas, semakin mendekat, membuat langkah mereka tercekat. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung lari terbirit-birit, meninggalkan sosok itu yang sepertinya perlahan mulai mengejar mereka.

Bertaruh dengan kegelapan, mereka berlari sejauh mungkin, melompati jalan setapak yang sempit dan berliku. Wardi dan Rizal tak peduli lagi dengan segala sesuatu di sekitar mereka. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah untuk segera keluar dari tempat itu.

Setibanya di depan kamar mereka, kedua santri itu akhirnya berhenti, terengah-engah, tubuh mereka basah kuyup oleh keringat. Wardi terburu-buru mengetuk pintu kamar mereka, membangunkan teman mereka, Robi.

Lihat selengkapnya