ILAFAT

Topan We
Chapter #37

Hari Ke 28

Burhan melihat kedua orang tuanya mempersiapkan diri untuk pergi. Bapak Burhan dan ibunya tampak begitu rapih mengenakan pakaian muslim yang bersih dan sederhana. Ibu mengenakan jilbab hitam yang tertata rapi, sementara Bapak mengenakan baju koko putih dengan sarung yang tertutup rapi hingga mata kaki. Pemandangan ini selalu mengingatkan Burhan akan kedamaian, ketenangan, dan kasih sayang yang ada dalam keluarganya.

"Mau ke mana, Bu? Pak?" tanya Burhan dengan penuh rasa ingin tahu.

Ibunya tersenyum lembut dan menjawab, "Kita mau jalan-jalan ke tempat yang baru. Kamu udah siap?"

Burhan mengangguk, senang bisa pergi bersama kedua orang tuanya. Tak lama, keduanya mengajak sang kakek untuk ikut bersama mereka. Sang kakek, yang sudah tua, mengenakan pakaian serba putih, sarung putih, peci putih, dan baju koko putih. Wajahnya yang keriput tampak tenang dan penuh kedamaian. Sepertinya kakek sudah siap untuk mengikuti perjalanan ini.

Mereka pun melangkah keluar dari rumah, menuju ke tempat yang tak jelas bagi Burhan. Matahari pagi yang cerah membuat perjalanan mereka terasa ringan, meski langkah mereka sedikit lambat karena kakek yang sudah semakin uzur. Burhan berjalan di samping kakek, sesekali berbicara, namun tak ada percakapan panjang yang terjadi. Mereka menikmati keheningan perjalanan ini.

Sesampainya di tujuan, suasana terasa begitu berbeda. Tempat itu, meski tidak asing bagi Burhan, tiba-tiba memberi kesan yang lebih dalam. Mereka berkeliling, mengamati setiap sudut tempat tersebut, sambil melantunkan shalawat. Burhan pun ikut melantunkan shalawat, meski hatinya terasa tidak tenang. Ada sesuatu yang membuatnya merasa cemas. Namun, ia berusaha untuk tetap fokus dan mengikuti apa yang dilakukan kedua orang tuanya.

Beberapa saat kemudian, Burhan mulai merasa ada yang aneh. Ia menoleh ke arah kakeknya, yang tampak berjalan jauh di depannya. Wajah kakek tampak begitu berbeda, lebih bersinar, seolah ada cahaya yang memancar dari wajahnya. Senyumannya yang hangat malah membuat hati Burhan terasa sedih dan penuh pertanyaan. Kakek itu tampak mengenakan pakaian putih yang bersih, seolah ia seorang malaikat.

"Tunggu, Ki!" teriak Bapak Burhan, namun kakek tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan tanpa mengubah langkahnya. Bapak Burhan mencoba mengejar, tetapi kakek sudah terlalu jauh.

"Ki, Mau kemana?" teriak Bapak Burhan, kali ini dengan suara yang lebih keras.

Namun kakek hanya berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan dengan lembut berkata, "Aki akan pulang. Jangan ikuti Aki. Ikuti jalanmu sendiri."

Burhan hanya bisa terpaku. Ia merasa ada yang aneh, ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan, seakan-akan kakek itu bukan lagi orang yang sama. Wajahnya yang dulu penuh keriput kini tampak bercahaya. Kakek itu melangkah semakin jauh, hingga akhirnya hilang dari pandangan mereka.

Di samping Burhan, kedua orang tuanya tampak menangis. Ibu terisak pelan, sementara Bapak Burhan menunduk, tampak bingung dan terluka. Burhan hanya diam, matanya kosong menatap tempat di mana kakek terakhir terlihat. Ia tidak bisa bergerak, hanya berdiri seperti patung, seolah tubuhnya tidak bisa mengingat cara untuk berjalan. Kenangan tentang kakek yang ramah dan penuh kasih kini berubah menjadi bayangan yang samar, terasa semakin jauh.

Lihat selengkapnya