Hari itu, cuaca terasa mendung meski tak ada hujan. Waktu berjalan perlahan, seperti tak ada lagi yang bisa menandingi kesedihan yang menyelimuti pesantren dan keluarga Burhan. Kabar duka datang dengan cepat, meski semestinya datang begitu berat. Aang, santri kebanggaan pesantren, yang dikenal dengan kecerdasan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, telah meninggal dunia. Suasana di pesantren berubah seketika. Semua santri, termasuk Wardi yang tidak bisa menahan air matanya, merasa kehilangan yang mendalam. Namun, kesedihan ini tidak hanya melanda pesantren, melainkan juga keluarga besar Burhan, yang sudah lama mengenal Aang sebagai sahabat terbaik bagi mereka.
Malam itu, sebuah telepon datang dari pesantren untuk keluarga Aang di kampung halaman. Di ujung telepon, suara seorang ustad terdengar gontai, penuh keheningan, seakan tidak tahu bagaimana memulai kata-kata. "Bapak, kami ingin memberitahukan bahwa anak Bapak, Aang, telah meninggal dunia." Ustad yang menyampaikan kabar itu langsung menahan napas, menunggu reaksi yang datang dari seberang telepon.
Namun, sebelum ustad itu sempat melanjutkan kalimatnya, terdengar suara bapak Aang yang tenang, namun penuh kehati-hatian, "Saya sudah merasakannya." Seolah-olah, bapak Aang sudah tahu jauh sebelumnya tentang peristiwa tragis ini. Bukan sebuah kebetulan, tetapi seperti sebuah firasat yang datang menyesap dalam hati seorang ayah yang begitu dekat dengan anaknya.
Ustad itu pun ragu, tak tahu harus berkata apa. Mungkin, ia merasa berat untuk melanjutkan percakapan yang sudah semakin penuh dengan kesedihan ini. Namun, di luar dugaan, bapak Aang melanjutkan dengan meminta agar telepon tersebut diberikan kepada kiyai. Suara bapak Aang terdengar penuh kesungguhan, “Berikan telepon ini pada Kiyai.”
Ustad itu sempat mengelak, khawatir dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Ia takut jika bapak Aang akan menyalahkan pesantren atas kematian Aang, karena seolah tak ada yang lebih memilukan daripada kehilangan anak di tempat yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan belajar. Namun, bapak Aang tidak bergeming. "Saya minta, berikan telepon ini kepada Kiyai."
Setelah beberapa detik hening, akhirnya ustad itu menuruti permintaan bapak Aang. Ia pun memberikan teleponnya kepada Kiyai Majid, sang pengasuh pesantren yang terkenal dengan kebijaksanaannya. Kiyai Majid mengangkat teleponnya dengan penuh kehati-hatian. Suara bapak Aang terdengar begitu dalam, seperti sebuah beban berat yang harus ia pikul dalam kesunyian.
"Assalamualaikum pak Herman?" tanya Kiyai Majid, suara lembut namun penuh rasa empati.