ILAFAT

Topan We
Chapter #43

Hari Ke 34

Pada suatu malam yang sepi, langit di atas pesantren terasa begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang menyinari pepohonan yang tumbuh di sekitar area. Di dalam salah satu kamar, Burhan duduk dengan tubuh terkulai lemas. Ia merasakan tubuhnya tiba-tiba tidak enak. Sejak tadi siang, ia merasa sedikit pusing, tetapi malam ini rasa itu semakin menjadi. Demam yang cukup tinggi mulai menyerang tubuhnya, tubuhnya terasa menggigil, meskipun ia sudah mengenakan pakaian tebal. Rasa mual pun mulai merayap di tenggorokannya.

Burhan mengeluh pelan, "Ah... aku merasa masuk angin," gumamnya kepada dirinya sendiri. Ia pun memutuskan untuk meminta bantuan temannya, Rudi, yang sedang duduk di sebelah meja belajar. Rudi, yang mendengar keluhan Burhan, segera bangkit dan mendekat.

"Ada apa, Burhan? Kok keliatan pucat gitu?" tanya Rudi khawatir.

Burhan menjelaskan, "Aku merasa tidak enak badan, kayaknya masuk angin. Bisa tolong kerik punggungku, nggak?"

Rudi mengangguk dan segera mengambil minyak kayu putih dari meja dan menuangkannya ke telapak tangannya. Dengan lembut, ia mulai mengerik punggung Burhan, berharap bisa membantu meredakan rasa tak nyaman yang dirasakan oleh temannya. Sesekali Burhan mengerang, namun ia tidak terlalu mempedulikannya. Rudi terus mengerik tubuh Burhan, mengikuti gerakan-gerakan yang biasa dilakukan orang yang sedang terkena angin.

Namun, setelah beberapa menit dikerik, wajah Burhan tampak semakin pucat. Rudi pun berhenti sejenak dan melihat Burhan dengan tatapan cemas. "Sudah enakan, Burhan?" tanya Rudi dengan suara pelan.

Burhan menggeleng, matanya kini tampak kosong dan pandangannya terarah ke satu titik di dinding kamar. Suaranya terdengar serak dan penuh keraguan. "Aku rasa... ada yang nggak beres," katanya, dengan nada yang aneh.

Rudi bingung mendengarnya. "Maksudmu apa? Apa yang nggak beres?" Ia melihat Burhan dengan ekspresi cemas.

Burhan tidak menjawab, malah ia terlihat seperti terperangkap dalam pikirannya sendiri. Tanpa peringatan, tubuh Burhan tiba-tiba bergerak cepat. Ia berdiri, tatapannya tajam dan matanya kosong seperti kehilangan kesadaran. Rudi terkejut dan mundur selangkah.

“Burhan? Kau... kenapa?” tanya Rudi, suaranya bergetar.

Burhan tidak merespons, malah ia mengangkat kedua tangannya, seolah siap bertarung. Tubuhnya seakan menguat, dan dalam sekejap ia berlari keluar dari kamar menuju halaman luar pesantren. Rudi terkejut dan dengan cepat mengejar Burhan.

Lihat selengkapnya