Malam itu, suasana di ruangan Kiyai Majid terasa lebih hening dari biasanya. Udara dingin yang menusuk tulang tak mengurangi kedamaian yang mengalir di dalam rumah. Di ruang tamu, sebuah meja bundar dengan kursi-kursi kayu antik terlihat lebih hidup daripada biasanya. Kiyai Majid, seorang ulama yang dikenal karismatik di kalangan masyarakat, sedang duduk di kursi utamanya. Di depannya, tiga orang tamu duduk dengan penuh perhatian. Yang pertama adalah Ustad Fatur, dan yang kedua adalah orang tua Burhan, seorang lelaki dan perempuan yang tampak tegang meskipun sudah berusia cukup lanjut.
Kiyai Majid memandang ke arah orang tua Burhan dengan penuh empati. Sejak beberapa minggu terakhir, Burhan, anak mereka yang masih muda, telah menunjukkan perilaku yang semakin aneh dan sulit dipahami. Orang tua Burhan, meskipun mereka adalah orang yang taat agama, merasa bingung dan tertekan dengan apa yang terjadi pada anak mereka. Mereka merasa seperti ada sesuatu yang sangat besar dan jahat sedang menguasai jiwa Burhan, dan mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Saya paham betul kebingungan Bapak dan Ibu," kata Kiyai Majid dengan suara lembut namun penuh wibawa. "Burhan adalah anak yang sangat istimewa, dan kita semua harus memahami bahwa apa yang sedang dialaminya bukanlah hal biasa."
Orang tua Burhan menunduk. Bapak Burhan, Pak Hasan, menekan kedua tangannya yang terlipat di atas meja, seakan mencoba menahan kekhawatiran yang terus menggerogoti hatinya. Sedangkan Ibu Burhan, yang sejak tadi diam, hanya mengusap mukanya perlahan, menahan air mata yang hampir tumpah.
Ustad Fatur yang duduk di samping Kiyai Majid, mengangguk-angguk kecil. Wajahnya yang penuh ketenangan memberikan rasa damai bagi siapapun yang ada di dekatnya. "Apa yang dikatakan abah benar," kata Ustad Fatur dengan suara lembut. "Burhan adalah anak yang luar biasa. Kepekaan terhadap hal ghaib yang dimilikinya adalah tanda bahwa dia memiliki potensi yang besar. Namun, di balik keistimewaannya, ada tanggung jawab yang harus dia pikul. Kepekaan ini, jika tidak diarahkan dengan benar, bisa menjadi bumerang yang justru membahayakan dirinya sendiri."
Kiyai Majid menatap Ustad Fatur dengan penuh pengertian, sebelum kemudian melanjutkan penjelasannya. "Burhan memang sejak kecil sudah memiliki mata batin yang terbuka. Dia bisa melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh orang kebanyakan. Dari segi spiritual, ini adalah suatu berkah. Tetapi, kita juga harus sadar bahwa mata batin yang terbuka ini adalah ujian besar. Tanpa bimbingan yang benar, ia bisa terjebak dalam godaan atau bisikan-bisikan yang berasal dari dunia yang tidak terlihat."
Pak Hasan, yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya angkat bicara. "Sebenarnya Kami dari awal membawanya kesini berharap bahwa anak saya bisa lebih mengatasi gangguan yang selama ini ia rasakan. Saya sendiri bahkan percaya tidak percaya akan hal semacam ini, Kiyai. Yang jelas saya hanya ingin Burhan normal seperti yang lain. Tidak terlalu menonjolkan hal-hal seperti ini."
Ibu Burhan yang dari tadi hanya diam, kini menunduk dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. "Apa yang harus dilakukan, Kiyai? Kami merasa tidak berdaya. Kami takut Burhan akan semakin jauh menanggapi hal semacam ini, semakin terjerumus dalam sesuatu yang tidak kami pahami."