Sudah tiga hari ia seperti ini—tidak banyak bicara, tidak makan, dan hanya sesekali mengucap istighfar dengan suara kecil. Tubuhnya mengurus drastis, wajahnya pucat, dan matanya cekung, menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan. Di matanya tersimpan rasa bersalah, bingung, dan juga takut.
Seseorang mengetuk pintu kamar. Ustad Fatur berdiri dan membuka pintu. Di ambang pintu, berdiri seorang lelaki sepuh bersorban putih dan memakai baju koko dan sarung khasnya. Tatapannya tenang namun penuh wibawa.
“Assalamu’alaikum,” suara kiyai mengalun pelan.
“Wa’alaikumussalam, silakan masuk, Bah,” jawab ustad Fatur sambil menunduk hormat.
Kiyai Majid melangkah masuk dengan langkah perlahan. Di sudut kamar sudah ada ibu dan bapak Burhan, serta kakaknya Halimah dan suaminya. Mereka semua menoleh dan memberi ruang saat kiyai mendekat. Suasana hening, hanya terdengar detak jam dinding dan napas berat Burhan.
Kiyai Majid duduk di tepi kasur, tepat di samping Burhan. Ia meletakkan telapak tangannya di dada Burhan dan menatap wajah muridnya itu dalam-dalam.
“Burhan,” panggilnya lirih.
Burhan hanya memandang, matanya berkaca-kaca.
Kiyai memejamkan mata dan mulai berdoa. Suaranya pelan namun terdengar jelas. Doa itu panjang, melantun dalam bahasa Arab yang penuh makna. Ada kekhusyukan yang tidak biasa, seakan-akan doa itu membuka lapisan-lapisan gaib yang menyesaki tubuh dan pikiran Burhan.
Saat doa selesai, Burhan tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap kiyai dengan mata berkabut. Wajahnya bergetar, bibirnya terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Kiyai Majid menarik napas dalam-dalam.
“Burhan,” katanya tenang, “kamu masih terus memendam keyakinan bahwa kematian ustad Jamin tidak wajar. Padahal, Abah udah berulang kali sampaikan bahwa beliau wafat karena sakit.”
Burhan mulai menangis perlahan.
“Kami semua menyaksikan proses sakitnya. Kamu pun sebenarnya ada di sana, menemani beliau sampai akhir. Tapi abah tahu, dalam hatimu masih ada yang mengganjal. Maka sekarang abah akan bercerita sesuatu yang mungkin belum pernah kamu dengar.”
Semua orang di dalam kamar menyimak dengan tenang.
“Ustad Jamin adalah murid Abah yang paling taat. Ia rajin, tekun, dan sangat menghormati gurunya. Tapi seperti halnya manusia lainnya, ia punya sisi yang tidak semua orang tahu.”
Kiyai Majid mengalihkan pandangan sejenak ke arah langit-langit, lalu kembali menatap Burhan.
“Beberapa tahun lalu, Jamin mulai tertarik dengan hal-hal yang gaib. Awalnya hanya sebatas membaca, mencari tahu. Tapi lama-lama ia terhanyut. Ia merasa memiliki kemampuan yang tidak dimiliki orang lain. Ia percaya bahwa ia bisa memahami makhluk-makhluk yang tidak kasat mata. Abah sudah berkali-kali menegur, menasihati, tapi beliau selalu mengelak. Ia mulai wirid tengah malam, mengunci diri di kamar, berpuasa tanpa bimbingan, dan menyepi terlalu sering.”
Burhan mulai tersedu.