Burung-burung gereja bersahut-sahutan di langit-langit langgar tua itu. Udara pagi membawa aroma rumput basah dan kayu lapuk yang tersentuh embun. Di pekarangan pesantren, Burhan berdiri tegak mengenakan baju koko putih dan sarung cokelat tua. Wajahnya bersih meski masih menyimpan bayang-bayang kelelahan yang belum sepenuhnya pudar. Namun senyumnya pagi itu tulus, dan matanya berbinar. Ada kehangatan baru yang memancar dari rautnya—sebuah pertanda bahwa luka itu mulai tertutup.
Hari itu adalah hari pertama Burhan kembali ke lingkungan pesantren setelah sekian lama menjalani perawatan dan pemulihan. Ia sudah dibimbing oleh psikolog, menjalani beberapa sesi terapi dengan psikiater, serta terus dalam pengawasan pihak pesantren yang kini semakin terbuka terhadap pendekatan medis dan spiritual secara seimbang. Perubahan pendekatan ini tak lepas dari pengalaman getir yang baru saja mereka lewati.
Sebelum menemui siapapun, Burhan melangkah menuju rumah sederhana di pojok timur pesantren—tempat tinggal kiyai Majid. Di sana, ustad Fatur sudah duduk menunggu sambil mnikmati segelas kopi. Ia tersenyum begitu melihat Burhan mendekat.
“Assalamu’alaikum...” sapa Burhan sambil membungkuk hormat.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab Fatur sambil berdiri. “Alhamdulillah, akhirnya kamu datang juga.”
Kiyai Majid muncul dari dalam rumah, mengenakan baju Koko putih dengan sorban hijau terikat rapi di kepala. Usianya yang sepuh tidak mengurangi ketegasannya, tapi pagi ini tatapannya lembut, bahkan nyaris haru.
“Silakan duduk, Burhan,” ucap kiyai sambil menunjuk bangku kayu di teras.
Burhan duduk. Ia menunduk lama sebelum akhirnya berkata, “Maafkan saya, Bah, Ustad. Saya... saya sudah banyak merepotkan, menyusahkan, bahkan memalukan pesantren ini.”
Kiyai tersenyum. “Bukan begitu caramu melihatnya, Nak. Kamu bukan merepotkan. Kamu sedang belajar dan mengkaji diri. Dan pesantren ini adalah tempat belajar, bukan tempat menghukum.”
Ustad Fatur menambahkan, “Semua yang kamu alami—itu bukan karena murni kesalahanmu. Tapi karena ada bagian dalam dirimu yang belum kamu pahami. Kamu berani mencari tahu, dan sekarang... kamu mulai memahami tentang dirimu sendiri. Itu lebih penting.”