illusory

Babrielle
Chapter #1

Chapter 1. Sebuah Mimpi

Aini memiliki semuanya disini. Keluarga yang harmonis, makanan yang selalu berlimpah, sahabat-sahabat yang sudah bersamanya sejak kecil, pemandangan kebun bunga indah di luar jendela kamarnya yang akan mekar setiap beberapa bulan sekali, yang setelah lulus dari sekolah menengah atas nanti, akan menjadi milik Aini sepenuhnya. Ah, tidak, tidak. Lebih tepatnya, menjadi milik suami Aini kelak. Setidaknya itu yang Bapak bilang; setelah lulus SMA, Aini akan menikah, dan kebun bunga beserta usaha bunga potong milik Bapak akan diberikan kepada suami Aini sebagai kepala keluarga. Sementara Aini akan melanjutkan peran Mamih, menjadi sang istri dan ibu yang mengurus rumah, dengan satu misi utama, yaitu melahirkan dan mengurus anak. 

Bukankah itu terdengar sangat menyebalkan? Aini adalah anak tunggal yang penurut, dia bukan seorang pemberontak, dan orang tua nya juga bukan tipikal pengekang, mereka sangat lembut dan penyayang meski memiliki nilai-nilai yang cenderung tradisional. Jika Bapak dan Mamih memiliki alasan kuat mengapa mereka menyarankan Aini untuk segera menikah setelah lulus SMA. Mereka bilang, anak gadis harus cepat-cepat dinikahkan agar tidak terjadi hal buruk seperti hamil di luar nikah dan semacamnya. Sukabumi adalah kota kecil, banyak rumor menyebar tentang gadis-gadis yang memilih dunia bebas, dan untuk keluarga Aini yang selama ini cukup terpandang, Bapak dan Mamih sangat tidak ingin itu terjadi pada Aini. 

Ide bahwa dia akan menghabiskan puluhan tahun sisa hidupnya hanya sebagai seorang istri, seorang ibu, dan terjebak di kota yang sudah dia tinggali sejak lahir, tanpa melakukan sesuatu yang besar di luar sana memang menyesakkan. Namun, seperti tujuh belas tahun terakhir, memilih pilihan yang menyesakkan lebih mudah untuk Aini daripada menolak permintaan kedua orang tuanya. Jika Aini merasa tidak setuju dengan apa yang mereka inginkan, biasanya dia hanya akan berjalan ke depan cermin dan melihat pantulan dirinya, menatap mata hitam besar, hidung kecil dan kulit yang putih bersih, campuran wajah kedua orang tuanya di wajahnya. Atau, dia akan memandangi kebun bunga yang indah dari jendela kamarnya, bagaimana bisa Aini menolak permintaan kedua orang tua yang sudah memberikannya kehidupan sebaik ini? 

Terkadang Aini menghabiskan malam dengan memikirkan siapa yang akan ia nikahi nanti. Bagi sahabat-sahabat Aini, menemukan seorang yang mereka cintai itu seolah hal yang sangat mudah. Mereka sudah berpacaran sejak sekolah menengah, bahkan sudah gonta-ganti beberapa kali, jadi jika pun setelah lulus nanti mereka disuruh menikah seperti Aini, mereka tinggal menentukan hari pernikahan dan mencari gaun putih. Aini bisa membayangkan sebagian dari mereka pun tidak sabar untuk itu menjadi kenyataan. Namun, Aini belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Jika pun pernah, itu hanya kepada seorang selebriti yang tidak dia temui secara langsung. Membayangkan dirinya menikah dengan seorang pria terasa sangat … asing. Lebih mudah membayangkan dirinya menjadi seorang dokter, pengacara, pemain sinetron atau bahkan astronot. Sekali lagi, Aini melamun sambil duduk di jendela, memandangi hamparan kebun bunga yang basah setelah gerimis. Apa ini benar-benar hidup yang aku inginkan? Menikah, mengurus kebun bunga, dan tinggal disini selamanya? Bagaimana jika aku menginginkan lebih dari ini? 

Semakin mendekati hari kelulusan, semakin pertanyaan-pertanyaan itu membisingkan kepalanya. Untuk pertama yang kali, ia memberanikan diri untuk berbicara pada Bapak dan Mamih tentang apa yang sebenarnya dia inginkan. 

“Pak, Mih … Aini gak mau menikah. Setelah lulus nanti, Aini mau lanjut kuliah di Jakarta.” 

Gagal. 

Aini menutup layar komputer dan menenggelamkan wajahnya di dalam telapak tangan. Dadanya sesak, pikirannya mengalir dengan cepat. Apa yang akan aku lakukan sekarang? Aini hanya memimpikan ini. Dia bahkan sudah menyiapkan handphone di ujung meja yang merekam reaksinya saat membuka email itu. Seharusnya sekarang dia bersorak gembira, berlari turun melewati tangga lalu memeluk Mamih dan Bapak, memberitahu mereka bahwa dia berhasil diterima menjadi di universitas impiannya di Jakarta. Tapi sekarang dia hanya terdiam membeku dalam hening dengan tangan yang gemetar, semua mimpinya runtuh dan dia kembali ke titik awal. 

Hembusan angin dingin menyelinap dari jendela, hamparan kebun bunga milik keluarga mereka terlihat begitu indah di bulan Juli. Sebulan yang lalu, ada seorang pria yang datang ke rumah Aini dengan sebuah truk berisi karung-karung beras, peti-peti telur, dan banyak lainnya. Itu adalah Rendi, anak pemilik pabrik garmen yang mendengar Aini akan lulus SMA, dan memilih untuk mencuri start dan melamarnya. Bapak dan Mamih menyambut Rendi dengan ramah, dan Rendi banyak bercerita tentang pabrik yang dimiliki orang tuanya dengan cara yang rendah hati. Bapak dan Mamih sangat senang, semua tetangga juga antusias membicarakan, karena itulah yang pantas; si cantik Aini, dengan Rendi yang kaya raya. Meski semuanya membuat Aini merasa sesak, Aini tidak menunjukkan dia menentang rencana itu, pasalnya, semua orang terlihat begitu bahagia tentang dia dan Rendi. Aini pikir, toh, dengan dia diterima kuliah di Jakarta nanti, akan menggagalkan lamaran itu tanpa Aini harus menolak secara gamblang sejak awal. Dengan begitu Aini dapat menjaga perasaan semua orang. Namun ternyata semua rencananya gagal dan sekarang dia terjebak di situasi yang dia buat sendiri. 

Langkahnya menyeret menuruni tangga, samar-samar suara tawa Mamih terdengar dari ruang tengah, berbicara dengan seseorang melalui telepon dengan TV yang menyala, menunjukkan sinetron kesukaannya. Begitu mendekat, Aini langsung tahu siapa orang disisi lain telepon tersebut, ibunya Rendi.

“Mih,” bisik Aini yang kini tepat berada di hadapannya, “Aini bade ngomong sakedap¹.”

Mamih berisyarat untuk memintanya menunggu sebentar lagi.

Suara ‘Assalamualaikum’ yang lantangnya tidak asing terdengar dari depan rumah, kang Aep, seorang pekerja serabutan yang pernah beberapa kali meminjam uang dari bapak, ternyata datang untuk bertamu setelah beberapa bulan tinggal di Jakarta dan baru sekarang kembali ke Sukabumi. Bapak yang sejak tadi meminum kopi di kursi depan pun langsung menyambut dan berbincang dengannya. Terdengar, kang Aep menceritakan secara singkat bagaimana dia kini sudah mendapatkan pekerjaan yang baik di Jakarta, dan dapat mengembalikan uang yang dulu dia pinjam dari Bapak. Bapak menjawab bahwa dia sudah melupakan hutang itu, namun kang Aep bersikukuh mengembalikan uangnya. 

Ketika telepon Mamih ditutup, Mamih memberitahu bahwa ibu Rendi menelpon untuk mengundang Aini makan-makan di restoran bersama keluarganya, namun Aini yang tidak dapat memikirkan hal lain hanya langsung memotong dan mengatakan, “tos nampi e-mail na², mih.

Raut wajah Mamih langsung menyala, cepat-cepat Aini menghentikan kekeliruan itu dan memberitahukan isi dari emailnya, “Aini gak keterima,” dia menggeleng kecil.

Lihat selengkapnya