Aini membuka kaca helm dan terperanga melihat gedung-gedung pencakar langit dan lampu-lampu yang mengelilingi nya saat ini. Mobil-mobil mewah ada dimana-mana, motor yang saling menyalip, orang-orang berpakaian rapi dengan wajah lelah pulang kerja. Sepertinya, terakhir kali Aini ke Jakarta adalah saat Bapak mengajaknya ke Monas pada liburan akhir semester tiga tahun lalu. Dia belum pernah melihat Jakarta seperti ini sebelumnya.
Ketika motor melewati universitas yang ia impikan, Aini dapat merasakan jarak yang tak terjangkau antara dirinya dan impiannya. Tempat yang sebelumnya selalu dia lihat dari gambar di internet itu kini tepat berada di hadapannya, namun, dia hanya bisa menatap dari jauh. Bangunan yang megah, gerbang kampus yang ramai dengan mahasiswa-mahasiswa yang bersemangat. Dia pernah membayangkan diri berdiri di antara mahasiswa-mahasiswa itu, mungkin ratusan kali. Ada perasaan yang kuat yang meyakinkannya bahwa suatu hari nanti, dia akan kembali ke kampus ini, entah bagaimana. Dengan hati yang berat, dia melanjutkan perjalanan, berusaha menelan rasa kecewa yang menggelayut hingga dia akhirnya sampai di kontrakan.
Kang Aep membantu mengecek rumah kecil dengan kamar satu itu sebelum akhirnya pamit pergi ke tempat tinggalnya sendiri di Jakarta. Aini pun berkeliling untuk mengenali tempat baru di kota barunya. Air disini hangat, sedikit lengket dan tidak menyegarkan, atau mungkin itu hanya perasaan Aini saja. Ketika malam, Aini terkejut dengan banyaknya suara di sekitar kontrakan meski waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Jika ini di rumah orang tuanya, suara yang ada bukanlah bising percakapan atau tawa tetangga, melainkan nyanyian sayap jangkrik yang merdu. Bau asap dan polusi juga membuat Aini langsung merindukan hembusan udara dingin beraroma bunga yang seringkali menyelinap lewat celah jendela kamarnya. Tempat baru ini tidak senyaman dan seindah rumah orang tuanya, namun dia tahu, cepat atau lambat dia pasti akan terbiasa. Lagi pula, hanya satu bulan, kan?
Setelah merapikan semua baju-bajunya di lemari baru, Aini yang merasa lelah merebahkan diri di sofa dan menyalakan TV kecil di ujung ruangan, mengganti-ganti saluran hingga akhirnya berhenti pada siaran talkshow malam ketika nama yang dia kagumi selama ini disebut oleh sang pembawa acara, disusul sorakan meriah penonton.
“Kita sambut dengan meriah, Keenan Alvaro!!!”
Laki-laki berkulit putih itu melangkah masuk dengan percaya diri dalam balutan blazer biru navy dan celana krem yang memberi kesan kasual rapi, tersenyum kepada penonton dan pembawa acara dengan sorot mata dalamnya yang khas, yang selalu meninggalkan kesan seperti dia benar-benar menatapmu dan hanya dirimu saja.
“Halo Keenan, apa kabar? Selamat datang di acara kami.”
“Baik, baik sekali, thank you for having me.” jawab Keenan dengan senyum ramah, namun tetap dengan pembawaannya yang cool. Tanpa sadar, Aini memajukan posisi duduknya di sofa, terpikat pada sosok laki-laki di balik layar itu.
“Thank you sudah menyempatkan waktu untuk datang ke Tonight Show, kita semua tau ya, Keenan ini jarang sekali mau datang ke acara talkshow ataupun interview, kalau boleh tau, kenapa sih itu Keenan?”
“Hahahaha, sebenernya enggak juga,” Jawab Keenan, “Saya itu kadang bingung, apa yang harus diceritakan kalau datang ke acara talkshow seperti ini, rasanya gak ada yang terlalu menarik di hidup saya untuk dibicarakan.”
“Ah, justru banyak sekali yang menarik tentang kamu Keenan!” ujar si pembawa acara, “kamu sadar gak sih kalau kamu itu aktor muda yang paling terkenal sekarang? Begitu kita bilang di sosial media kalau kamu adalah tamu kita malam ini, ribuan pesan langsung masuk ke twitter kita dan hashtag #KeenanInTonightShow langsung trending nomor satu!”
Para penonton bersorak, Keenan pun menjawab dengan satu tangan di dada dan nada bicara yang rendah hati, “Ah, terimakasih ... saya bersyukur banyak orang yang mendukung saya. Terimakasih.”
“Congratulations ya untuk film baru kamu yang mencapai dua juta penonton dalam satu minggu,”
Para penonton kembali bertepuk tangan dengan meriah, sebagian besar dari mereka sudah menonton film baru Keenan itu, bahkan dua sampai tiga kali. “Boleh share gak sih, ada pengalaman apa aja selama kamu shooting film ini?”
Raut wajah Keenan berubah lebih serius, “Tentunya shooting film ini mengesankan sekali, ya. Saya bisa bekerja dengan orang-orang yang hebat, dan ngelakuin hal-hal yang di luar comfort zone saya. Saya inget banget, ada satu hari dimana saya gak tidur semalaman, bukan karena kita take sampai pagi, tapi karena saya merasa gak puas dengan apa yang saya berikan sebelumnya dalam salah satu scene yang cukup crucial di film ini. Akhirnya saya coba bilang ke director kita, mas Rendra, kalau saya masih belum merasa puas dengan scene itu. Untungnya mas Rendra berikan saya kesempatan untuk retake scene itu di hari lain, and I felt so much better about it. Saya bersyukur banget sih, kita semua di team sama-sama ingin memberikan yang terbaik untuk film ini, juga untuk penonton dan fans.”
Aini menatap layar TV dengan kagum, bukankah Keenan Alvaro begitu hebat, rendah hati dan sempurna?
“Sudah ada banyak pertanyaan yang masuk ke sosial media kita, dan malam ini Keenan Alvaro akan menjawab pertanyaan kita dalam sesi: Rapid Question!”
Layar-layar serta lampu di studio berganti, band memainkan jingle singkat, dan sesi Rapid Question pun dimulai. Pertanyaan-pertanyaan ringan dengan cepat disebutkan, jawaban-jawaban Keenan yang manis dan terkadang menggelak tawa seketika menaikan atmosfer acara.
“Orang terakhir yang Keenan hubungi hari ini adalah?”
Keenan menjawab dengan jujur “Manager saya, tadi memastikan saya gak telat datang ke acara ini.”
“Okay, hahaha. Film terbaik yang pernah Keenan tonton?”
“Oh, saya punya beberapa. Mungkin … Before Sunrise trilogy.”
“Wow, kamu hopeless romantic juga ya! Next question, apa hal yang paling kamu takutkan di dunia ini?”