“Siapa diantara kalian, yang tadi belum banyak terlihat di kamera?”
Aini merasa sangat cemas; takut setengah mati ia telah melakukan kesalahan dan mengacaukan sesuatu dalam scene-scene sebelumnya. Sambil melangkah maju ke hadapan mas Bimo dan sutradara, Aini terus mengulang-ulang peristiwa hari ini dalam pikirannya, sekaligus membayangkan bagaimana ia akan usir pergi karena kesalahannya.
Sutradara, dengan ekspresi serius, menatap Aini dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah itu, dia mengangguk pada mas Bimo dan kembali ke tempat duduknya.
“Siapa nama kamu tadi, Aini, ya?”
Aini mengangguk ragu.
“Kamu akting dialog, ya? Gantiin talent yang gak dateng. Cuma sedikit, kok. Sekarang kamu ikut saya ganti make up dan baju.”
Aini tertegun sejenak, hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Mas Bimo yang sudah melangkah berbalik dan menyadarkan Aini dari lamunannya, “ayo, cepetan.”
Aini pun mengangguk dan segera mengikuti langkah mas Bimo meskipun kakinya terasa mengambang. Dia bahkan tidak menyadari figuran lain di belakangnya berdecak kesal karena bukan mereka yang terpilih dan malah ‘si anak baru’. Mengikuti mas Bimo masuk ke ruang tunggu talent yang sebelumnya hanya dapat sesekali dia lihat saat pintu terbuka, Aini terpaku memandangi aktor-aktor yang kini ada di ruangan yang sama dengannya selagi dia berjalan ke kursi rias.
Cahaya dari cermin ruang rias memantulkan bayangan lembut ke wajah Aini, memberi rona keemasan yang lembut. Dia duduk dalam keheningan, tangannya sedikit gemetar saat dia mencoba menenangkan napasnya. Di hadapannya sudah ada deretan produk berkilau yang teratur rapi, botol-botol foundation dengan kemasan elegan, palet eyeshadow berwarna-warni, dan lipstik-lipstik dengan merk yang Aini belum pernah lihat sebelumnya.
Sang makeup artist mulai menghapus riasan yang Aini pasang tadi pagi, lalu tersenyum dan memuji kulit Aini yang sempurna. Sentuhan tangannya sangat hati-hati, mengoleskan produk-produk mahal ke wajah Aini seperti setiap sapuan kuas telah diperhitungkan dengan baik. Setelah selesai, Aini menatap cermin dengan tak percaya. Wajahnya kini terlihat begitu cantik, seolah-olah ia adalah bintang sesungguhnya. Makeup artist dan stylist yang sedang membawakan baju untuk Aini pun terpaku dan memuji penampilannya.
Setelah siap, Aini pergi ke set sesuai dengan arahan Mas Bimo. Disana sudah berdiri Keenan dengan team yang merapikan rambut dan bajunya, jantung Aini berdetak sangat kencang, dia berusaha tersenyum dan Keenan membalas senyumnya dengan sopan.
Sutradara mulai menjelaskan, “Aini, lo di sini berperan sebagai pacar yang mutusin Keenan sebelum nanti Keenan ketemu sama karakter yang dimainin Angela Ricci, ya. Jadi, disini Keenan bakal minta maaf, begging, kayak yang tadi udah di-briefing … aman, kan, Nan?” Sutradara menoleh ke Keenan, yang membalas dengan anggukan yakin. Kembali menatap Aini, sutradara melanjutkan, “Dan lo, Aini, disini tegas bahwa lo mau putus, gak terpengaruh sama sekali sama permintaan maafnya. Kalian improvise aja ya, natural.”
Aini mengangguk-angguk mengerti.
Keenan mengambil satu langkah mendekat ke Aini dan berhasil membuat nafasnya berhenti, “Kamu mulai dulu, nanti saya akan mengejar dari sini ke sana,” katanya sambil menunjuk posisi blocking.
“...Okay, kak.”
Semua orang terlihat sudah terbiasa dengan suasana ini, mereka pergi ke posisi masing-masing dengan cepat sementara Aini masih kebingungan dan sibuk menghapus keringat dari telapak tangannya sendiri, Ketika perintah "Action!" pertama kali terdengar, Keenan langsung masuk ke dalam perannya, sementara Aini tampak ragu untuk memulai.
“Cut!! Aini, kamu jangan kagok, begitu Action! langsung gerak aja,” sutradara memotong.
“Baik, baik, pak. Maaf!” ucap Aini, segera kembali ke posisi awal begitu juga dengan Keenan. Aini melirik ke arah Keenan , merasa bersalah dan menduga Keenan pasti merasa kesal dengannya, namun, Keenan tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, hanya terlihat sedang menata ulang emosinya seperti di awal.
“Oke, sekali lagi, ya? Kamera…” cameraman mengkonfirmasi rolling, dan sutradara kembali berteriak, “Action!”
Kali ini Aini bergerak tanpa ragu. Namun, saat Keenan berimprovisasi menarik tangan Aini untuk meminta maaf, Aini terkejut dan semua akting yang harus dia lakukan buyar begitu saja dari kepala.
“Aduh Aini … Ayo dong!! Dialog lu tuh dikit, loh! Keenan yang banyak, jangan ngelamain, dong!” teriak sutradara.
“Maaf- maaf, pak!”Aini menjawab cepat, segera berlari kembali ke posisi awal.
“Muka lo juga kelihatan gugup banget, disini kan lo ceritanya lagi mutusin karakternya Keenan, jadi harus yakin, jangan gugup!” tambah si sutradara.
Jantungnya berdebar semakin kencang, beberapa kru terlihat bertolak pinggang dan mulai kesal, dan itu menambah tekanan yang ada pada Aini. Rasanya seperti semua orang mengawasinya, menunggu dia melakukan kesalahan lagi.
Keenan melihat ke ujung set, di mana salah seorang kru sedang merekam behind the scenes yang kemungkinan akan diunggah di sosial media nantinya. Lalu, dia melirik ke arah perempuan yang sedang gemetar di hadapannya dan meraih tangan itu dengan lembut, “Tadi kamu kaget, ya, saya pegang tangan kamu?”
Nafas Aini terhenti, dan Keenan melanjutkan ucapannya, “Sorry, ya. Take setelah ini juga saya akan lakukan lagi, jadi kamu jangan kaget, Okay?”
Aini hanya mengangguk, merasakan kehangatan tangan Keenan yang memegang tangannya yang dingin.
“It’s okay kalau kamu gugup, it’s normal. Saya juga dulu gitu kok,” Keenan mencoba menenangkan Aini.
“Sekarang, kamu tarik nafas, dan bayangin kalau cuma ada kamu dan saya disini. Kamera, lighting, dan kru, semuanya gak ada. Just you and me.”
Aini mengikuti saran itu, menarik nafas dan membayangkan hanya ada dia dan Keenan, dan ketika sudah jauh lebih tenang, mereka langsung melakukan adegan nya sekali lagi. Kali ini Aini berhasil melakukan adegan dengan sempurna.
Itu adalah satu-satunya scene yang Aini harus lakukan, dia diberitahu boleh pulang tepat setelahnya, dan tidak sempat meminta foto pada Keenan karena aktor yang menjadi peran utama di sinetron itu masih harus melakukan banyak scene lainnya. Aini hanya memandangi dari jauh, melihat Keenan berakting dengan mahir dan tanpa pengulangan sama sekali. Para kru terlihat senang dengan betapa cepat dan mudahnya bekerja bersama Keenan. Aini pun pulang dengan perasaan yang tidak karuan, merasa dia tidak melakukan pekerjaannya dengan baik dan justru memberatkan.
Keesokan harinya, Kang Aep menyerahkan uang enam ratus lima puluh ribu kepada Aini. “Seharusnya honor figuran seratus lima puluh ribu, tapi karena kemarin neng Aini jadi pemain buat satu scene, jadi dapat tambahan lima ratus ribu,” jelasnya.
Aini menerima uang itu dengan senyum, namun, ucapan Kang Aep selanjutya seketika melunturkan senyum itu.
“Karena neng Ani udah jadi pemain, neng Aini gak bisa lagi jadi figuran di projek ini ... Nanti Kang Aep cari-cari informasi kalo misalnya ada kebutuhan figuran di projek lain. Sekarang mah, neng Aini santai aja dulu di kontrakan.”
Aini mengerti, dia pun menghabiskan hari-hari selanjutnya di kontrakan dengan tenang, sesekali, pada sore hari ketika merasa bosan, Aini akan pergi keluar dan melewati kampus impiannya, memperhatikan mahasiswa-mahasiswi disana dan membayangkan jika dirinya sendiri berada di posisi itu.
Pada Sabtu malam, sinetron yang sudah dinanti-nantikannya akhirnya tayang perdana di TV. “Cinta Suci Abadi” Dengan penuh antusias, Aini menunggu bagian dirinya muncul. Ketika wajahnya akhirnya terlihat di layar selama sekitar 40 detik, ia memperhatikan dengan sangat hati-hati, merasa malu dan bangga di saat yang sama. Setelah bagian nya berakting terlewat, ponselnya langsung berdering dan nama Mamih muncul di layar. “Neng!! Mamih tadi liat eneng!!”