Ilusi Lusi ~Novel~

Herman Sim
Chapter #2

Kenyataan Manis

Candaan lambaian ilalang hamparan hijau terasa riang terhempas semilir angin sejuk, tidak ada kata lelah terus melambai seraya mengajak bercanda. Langit cerah sungguh nyata adalah lukisan Sang Pencipta, sesungguhnya Dia menciptakan semesta menjadi lukisan indah tiada tara, tiada bosan untuk terpuji selalu bersenandung sepanjang masa. Serpihan awan putih akan selalu bersama dengan kesetiaan janji langit siang, disertai jilatan nakal cahaya sinar terik matahari sesungguhnya mereka adalah sahabat Sang Pencipta.

Terlebih hamparan perbukitan terlihat indah tidak terasa bosan dua mata ketika memandangnya walau perbukitan hijau itu terlihat disiang hari. Kebenaran yang hakiki bila Sang Pencipta telah melukisan keindahan alam ini dengan kesungguhan hatiNya, yang tetap patut dijaga kelestariannya tidak untuk terusak atau terjamah tangan-tangan nakal.

Langkah lusuh membebani jiwa terasa sedih terpaparn raut wajah seraya tidak akan bisa menghindar kenyataan pahitnya hidup. Dimana segelintiran orang selalu mengecap kenyataan manisnya hidup sebegitu mudah sekali tergapai dengan sekali langkah atau dengan sekali kata.

Tapi tidak pada lelaki yang dia hanya berjalan ditepian jalan, seraya tidak peduli dengan lambaian ilalang hijau tinggi memanggil mengajaknya untuk tidak bermuram durja selalu. Begitu terbalut kesedihan teramuk kenyataan pahit hidup tidak mudah terlewati, padahal hatinya saja ingin sekali menggapai dunia dengan mudah.

Tapi sekian keras dia berusaha, sampai dua telapak tangan tidak berkutat lagi untuk mengatakan menyerah menghalau kenyataan pahitnya hidup. Celana levis panjang biru dongker senada dengan jaketnya, berbalut dalaman kaos putih serta bersepatu kets putih kusam terus mengajak lelaki tampan itu berjalan tanpa arah dan tujuan pasti kemana dua kaki melangkah berjalan.

Tas ransel selalu tergemlok pada belakang punggung, dahaga haus kian terasa menagih disela kerongkongan. Menahan marah kesal aaat penutup botol plastik di bukanya sambil berjalan ditepian jalan, dua mata terlihat pasrah bila habis sudah kesejukan air pelepas dahaga dalam botol plastik itu.

Tapi wajahnya tersenyum terpancing di hadapannya tersungguhkan lukisan nyata betapa indah karya Sang Pencipta. Semilir angin kian mengajak wajah tampan tersenyum seraya hati terbawa kesejukan memuji keindahan alam karya tiada tara. Sesaat Burhan melupakan segala rumit kenyataan pahit hidupnya, dia tidak tahu harus kemana melangkahkan dua kakinya. Tapi sesaat dia melupakan sejenak kenyatan pahit yang baru saja menggurat hatinya.

Terduduk dia diatas rerumputan kecil, tas ransel tergeletak di samping terduduk melepas lelah. Tersenyum wajah tampan seraya sedang berkhayal tentang kenyataan manis hidup atau hati bersedih, hanya Burhan yang tahu semakin tersenyum. Langit indah teduh memayungi, dia terbaring diatas rerrumputan kecil kepalanya beralas tas ransel.

Kedua mata terus menatap langit cerah, tapi hati kecilnya tidak bisa terpungkiri tersirat menahan kesedihan. Dia beranjak bangun tidak mau menatap lagi langit teduh siang itu, terasa kian terpanggil kesedihan hati.

"Gua harus lari dari kenyatan pahitnya hidup ini. Sungguh sulit sekali mengecap kenyataan manis hidup yang malahan bikin gua jauh terhempas,"

Burhan beranjak bangun sembari menarik tali tas ransel, seperti hatinya terpanggil semangat untuk melanjutkan hidup menggapai kenyatan manis. Langkahnya kini makin pasti mengajak dia berjalan, balasan senyuman saat lambaian ilalang hijau tinggi menyapanya sepanjang jalan.

***

"Loe atur aja kapan waktunya! Kalau bisa di reschedule aja! Gua capek!"

Lihat selengkapnya