Pertandingan telah berakhir 2 Minggu berlalu. Semua SMA swasta ternama sudah kembali ke sekolah masing-masing, termasuk Starlight yang hanya meraih beberapa kemenangan saja.
Saat ini Devan bersama yang lain tengah membolos di kantin belakang sekolah, kantin yang disebut sebagai kantin kering alias kanker itu selalu ramai dikunjungi oleh rombongan Devan.
Kenapa disebut kantin kering? Karena kolam suci di sebelah kantin selalu dilanda kemarau, alias kering kerontang. Tiada ikan maupun air di dalamnya, hanya ada lumpur dan katak tak bernyawa.
Pakde Ahmad yang selalu berjaga di sana, selalu memperhatikan semua anak-anak. Terlebih, rombongan Devan yang terus saja membuat kehebohan. Hanya saja, hari ini kepala araknya tengah berdiam diri, melamun tanpa menyadari keberadaan Pakde.
"Nak, kenapa lesu begitu?" tanya pakde Ahmad pada Devan.
Devan menatap pakde sambil tiduran di atas sofa. "Kalah tanding, Pakde. Aku ngerasa nggak becus jadi kapten basket gara-gara sakit pas itu."
"Nggak apa-apa, kalah menang itu wajar, Nak. Lain kali kamu bisa meraih kemenangan lagi," balas Pakde mengelus rambut Devan lembut.
"Iya, Pakde." Devan membalik badan, meraih jaket milik Zain di dekatnya, lalu menutup wajah.
Devan mengantuk, badannya masih kurang sehat karena memaksakan keadaan. Dia tipe gampang capek karena kerjaan berat, contohnya berkelahi dengan rombongan Bluemoon atau latihan ekstra basket sampai malam hari.
Begitu menutup mata, Devan tertidur pulas. Pakde yang melihat itu lantas menyelimutinya dan memperingati yang lain agar tidak terlalu berisik.
"Keliatan capek banget, ya," ucap Rafly jongkok di depan sofa Devan.
"Dia nggak suka kekalahan, tapi kemarin emang kekalahan pertama kita selama pertandingan," sahut Zain duduk di sebelah sofa Devan, cowok itu memperhatikan wajah temannya tenang.
"Emang, ya, jantung basket Starlight itu Devan," ucap Bintang tiba-tiba nimbrung.
Perlahan, para tim basket berkumpul di sekitar sofa Devan. Mengamati kapten basket mereka dengan raut bermacam-macam.
"Kita yang payah, kalo nggak ada Devan, kita kalah, kayak kemarin ngelawan Aphrodite," gumam Arkan bersandar pada bahu Haikal.
"Homo! Jauh-jauh lo, hus-hus!" Haikal menepuk bahunya bekas sandaran Arkan.
Haikal bergidik ngeri setelahnya, sebab Arkan menatap cowok itu dengan sendu. Akibatnya, Haikal beranjak dan duduk di samping Zain dengan raut tajam.
"Lo ..." Zain menatap Haikal sejenak, merasa dejavu. "... punya kelainan, ya? Suka sama yang testoteron?"
Haikal tantrum, dia memukul punggung Zain tak suka. "Bangsat! Gue nggak suka cowok, cewek cantik masih banyak di luar, Zainudin!"
"Ya udah," balas Zain cuek.
Cowok itu hanya merasa menemukan Devan kedua saja. Karena, Devan mengakui kalau dirinya menyukai Azriel, jadi dia menyangka Haikal pun sama. Tunggu? Itu tidak normal, jangan menormalisasikan hal seperti itu. Zain mengelus dagu.
"Kalo diliat-liat, Devan manis banget, ya. Kalo dia pake wig cewek, gue bakal percaya dia cewek," ucap Reinal sambil meminum teh es.
Mendengar hal itu, mereka semua kembali memperhatikan Devan secara teliti. Benar apa yang dikatakan Reinal, struktur wajah Devan sangat berbeda dengan mereka. Apalagi tangannya halus, tak berurat seperti mereka.
"Nyokapnya pengen anak cewek kali, tapi yang brojol cowok," ucap Dika mengelus dagu.
"Bisa jadi."
Mereka mengangguk polos, tanpa mereka sadar kalau Devan tengah memutar bola matanya malas, bahkan mendengus pelan.