(im) Perfect Stuntman

Natha Al Zahidi
Chapter #1

1. The New Beginning

Dilahirkan sebagai makhluk yang memiliki saluran epididimis, membuat seseorang terkadang tak mau mengakui kelemahan sendiri. Egoisme dan gengsi berkuasa sehingga tak ingin terlihat sedang patah hati. Apalagi stigma tentang seorang lelaki, sosok kuat yang mengharamkan air mata jatuh mengaliri pipi. Air mata dianggap lambang kelemahan, padahal bagi wanita, hal itu justru simbol kelembutan.

Lelaki yang lembut perangainya tak serta merta identik dengan makhluk berperasaan seperti wanita, tapi, lebih pada kemampuannya dalam hal memahami bagaimana seharusnya memperlakukan ibu, istri, maupun anak perempuan mereka. Hal yang jelas menjadi value lebih bagi seorang pria ketika menjajakan apa yang disebut dengan cinta.

Banyak hal yang lelaki lakukan untuk menutupi kegalauan karena kehilangan sang pujaan hati. Bahasa kerennya, seorang lelaki tak akan begitu saja merelakan sosok mereka terlihat lemah, dengan menangisi keadaan misalnya. Banyak hal yang kaum lelaki lakukan sebagai pelarian dari kondisi yang sebenarnya mengancam nyawa seperti ini. Logika mereka melarang perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam ranah lari dari masalah itu dengan kegiatan tanpa guna.

Hal inilah yang melatarbelakangi dua sahabat lama bertemu kembali di sebuah kafe hotel tempat salah satunya menginap. Kafe mini di lantai dasar hotel, dengan balutan suasana malam yang cenderung tenang, hanya ada suara kendaraan yang sesekali lalu lalang.

Dimas, lelaki berperawakan standar tampak sedang duduk santai, dengan jemari melingkari posesif gelas tinggi sambil sesekali mengetuk dindingnya yang tengah mengembun. Kerutan di dahi melukiskan betapa penuhnya otak lelaki berpotongan rambut cepak ini dengan kecamuk pikiran.

"Gue tahu, Ren, Bayu udah cerita semua ke gue. Tadinya gue nggak gubris, lo pasti bisa survive tanpa bantuan siapa pun. Tapi, kondisi istri gue yang nggak memungkinkan. Lo tahu sendiri, kan, gimana idealisnya Alya dulu waktu kuliah? Walau udah jauh berkurang sekarang, tapi masih tersisa."

Lelaki lain berbadan tegap menumpukan siku kanan pada meja dan dengan jemari dari tangan yang sama, memelintir sedotan yang kemudian terarah ke bibirnya.

"Masalahnya gue nggak ada basic ngajar, Dim." Rendra mengalirkan beberapa mili cairan berwarna oranye dari gelas ke kerongkongannya, lalu mengernyit dan mengibaskan sebelah tangan, "Males gue kalau kudu dirempongin masalah perangkat pembelajaran. Atau presensi siswa, atau hal-hal semacam itu." Dari ekspresi sama sekali tak tampak ketertarikan dengan apa yang sedang jadi pokok pembicaraan antara keduanya.

Padahal selama ini, bidang kerja Rendra yang mempunyai pola meyakinkan orang lain agar menggunakan jasanya, Dimas rasa jadi modal luar biasa untuk masuk ke dunia pendidikan. Bukankah nantinya ia juga bertugas untuk meyakinkan siswa atas kemampuannya mengerjakan soal?

Lelaki berlesung pipi sebelah yang dipanggil Dimas itu berdecak kesal. Entah sudah berapa kali ia menjelaskan aturan mainnya pada Rendra. Namun lelaki di hadapannya ini malah sok bego, sok tidak paham, yang Dimas yakini sebagai representasi usaha penolakan tawaran. Namun, mengenal sahabatnya ini dari awal kuliah, membuat Dimas mempunyai strategi tersendiri untuk memuluskan aksi.

"Alah, caranya sama aja kalau lo ngadepin klien, cuma materinya beda, bisa tentang matriks, integral, eksponen, statistik, khas anak SMA, lah! Nggak bakal ada kalkulus atau apa pun yang bikin lo pusing. Lagian lo gantiin satu semester aja, Bro! Semua perangkat udah disiapin istri gue, lo nggak usah khawatir," timpal Dimas menepis kesangsian Rendra. Tersemat ekspresi cool dengan senyum jemawa pada wajah tanpa dosa di sana, juga terselip kebanggaan akan sosok istri yang luar biasa cantik dan idealis di matanya.

Melirik kanan kiri, Dimas mencondongkan badan sehingga memotong jarak antara mulutnya dan telinga Rendra, lalu berbisik, "Lagipula di sana guru ceweknya muda-muda, bohai semua, siapa tahu lo bisa gaet satu, kan, lumayan?"

Kenyataan bahwa lelaki adalah makhluk visual yang akan mudah sekali tergoda dengan iming-iming kebohaian wanita, membuat Dimas berpikir temannya ini memiliki ketertarikan sama. Tanpa mempertimbangkan fakta lain bahwa Rendra baru saja mengalami apa yang disebut dengan patah hati, serta fakta lain lagi bahwa Rendra adalah sosok pria setia yang menunggu pasangannya kembali walau telah dicampakkan.

"Najis, Dim! Gue nggak ada waktu mikir begituan." Pandangan Rendra seketika teralih dari gelas ke wajah Dimas yang sedang diusahakan sekeren mungkin. Walau misal tak usah begitu pun, Dimas akan tetap mudah merebut simpati wanita yang kebetulan ditemuinya. Sebelas dua belaslah dengan dua sahabatnya. Potongan rambut cepak membuat Dimas makin terlihat rapi, sangat berbeda dengan gayanya waktu kuliah dulu. Rendra saja terperanjat saat pertama kali bertemu Dimas yang menjemputnya di Bandara Adi Sucipto beberapa hari yang lalu.

"Iya-iya, sori! Namanya juga usaha, ya, nggak?" cengir Dimas sambil sesekali melirik ponsel yang sedari tadi lampu indikatornya menyala merah dan hijau bergantian, pertanda banyak pesan dan panggilan masuk yang telah diabaikan. Dimas pastikan kebanyakan notifikasi itu berasal dari istri tercinta di rumah. Bukannya abai, Dimas hanya belum punya jawaban atas pertanyaan istrinya, jadi percuma juga dibuka. Begitulah pola pikir lelaki, logika berjalan di atas rasa. Padahal kalau dilihat dari sisi Alya, pasti akan lebih suka Dimas menggubris pesannya dengan tanggapan apa saja.

Rendra menghela napas dalam. Ia memang butuh pengalihan dari apa yang belakangan mengganggu kestabilan perasaan dan pikirannya. Itu sebabnya beberapa hari yang lalu ia memutuskan untuk terbang ke Solo, menemui Dimas, sekalian liburan sejenak dari kepenatan pekerjaan. Namun, siapa sangka ternyata Bayu—sahabat Rendra, yang juga adalah mantan calon kakak iparnya—telah bersekongkol dengan Dimas untuk menahannya lebih lama di kota ini.

Meskipun tidak bisa dibilang persekongkolan juga, karena Rendra tahu, kedua sahabatnya itu hanya berniat membantu. Ia sendiri juga heran, memangnya terlihat sebegitu menyedihkan kah kondisinya sehingga memunculkan inisiatif Bayu dan Dimas untuk menawarkan bantuan. Lelaki berwajah indo ini jadi curiga, ada andil sang Mama dan Adik dalam persekongkolan kedua sahabatnya.

"Jadi gimana? Ini dari tadi gue udah dibombardir Alya, harus ada jawaban malem ini. Gue juga nggak tenang ninggalin Alya lama-lama, suami siaga, Bro!" Tuntutan Dimas memecah keheningan yang sejenak jadi raja. Dengan mata—yang akhirnya menyerah—fokus ke layar ponsel, meneliti kalau-kalau ada pesan berembel-embel banyak tanda seru dari sang istri.

Alya, istri Dimas memang sedang hamil besar. Ketiganya dulu kuliah di jurusan yang sama, Matematika murni, berbeda dua angkatan. Alya baru masuk kuliah saat Dimas dan Rendra duduk di semester lima, sedangkan Bayu di fakultas berbeda. Selain kuliah di universitas yang sama, Dimas, Rendra, dan Bayu tinggal di kost yang sama di Jakarta.

"Ya udah, oke, lah. Tapi gue tegasin sekali lagi. Ini bukan karena masalah usaha move on atau apa. Gue cuma nggak tega sama Alya. Itung-itung gue bantuin istri lo, juga refresh dari kepenatan kerjaan di Bandung," putus Rendra kemudian yang ditanggapi dengan senyum lebar terkembang di bibir Dimas. Nyaris berteriak, Dimas beranjak dari kursi lalu menepuk bahu Rendra dengan riang, matanya berbinar persis bocah mendapat izin bergumul dengan air hujan dari mamanya.

Lihat selengkapnya