"Titip istri gue, ya, Bro! Sori gue nggak bisa nemenin, ada kelas soalnya!" ucap Dimas saat Alya dan Rendra turun dari Freed Silver di depan sekolah tempat istri Dimas mengajar. Rendra bersikeras mengendalikan kemudi mobil Dimas karena lelaki ini punya masalah dengan kendaraan darat. Hari ini rencananya Alya akan memperkenalkan Rendra pada Anggi, kepala sekolah yang juga adalah atasan Alya.
Rendra mengangguk tanpa suara dengan ekspresi bosan, bukannya apa-apa, entah sudah berapa kali Dimas menitipkan Alya pada Rendra. Sifat Dimas yang over protektif juga bukan tanpa alasan, Alya sedang berada pada kondisi kehamilan pertamanya dengan HPL sudah lewat tiga hari. Konsultasi ke dokter kandungan sudah dilakukan dan janin masih dalam kondisi prima, sehingga belum ada perintah selanjutnya selain menunggu kontraksi datang dan kontrol satu minggu sekali.
"Yuk, Mas! Jangan grogi, yah! Bu Anggi termasuk yang open minded, kok, orangnya. Usia baru sekitar tiga puluh tujuh, tapi lumayan wise sebagai pemimpin," ucap Alya setelah terdengar suara pintu mobil ditutup, dan wejangan-wejangan ala suami siaga dari Dimas lengkap ditelannya dengan senyuman.
Rendra mengangguk sekali lagi, menyejajari langkah Alya yang walaupun dengan perut—yang Rendra rasa sama dengan—besar dua kali bola sepak, masih bisa bergerak dengan gesit. Lelaki berkemeja abu tua ini ngeri sebenarnya, karena tidak pernah berurusan dengan wanita hamil sebelumnya. Takut kalau tiba-tiba waktu melahirkan datang, dan Rendra tidak tahu apa yang harus dilakukan selain membawa Alya ke rumah sakit.
Suara ketukan sepatu pantovel hitam mengilap yang membungkus kaki Rendra—hasil meminjam dari Dimas, karena Rendra hanya membawa sepatu kasual—memenuhi ruang udara di lobi sekolah, beriringan dengan decit alas karet sepatu beberapa siswa yang lalu-lalang di luar kelas. Kegiatan belajar mengajar belum efektif karena classmeeting baru saja dimulai. Tampak pandangan kepo terlukis pada ekspresi beberapa gerombolan siswa yang kebetulan melewati lobi, membuat Rendra sedikit tak nyaman. Ia sedang diminta untuk menunggu di sofa lobi sementara Alya memastikan keberadaan Anggi di ruangan.
"Yuk, Mas! Sini!" Kepala Alya menyembul dari tikungan berbatas tembok di koridor menuju ruang kepala sekolah. Rendra mengangguk untuk yang ke sekian kali lalu beranjak menjinjing ranselnya mengikuti Alya. Alya mengetuk pintu sekadarnya, lalu saat pintu ruang kepala sekolah dibuka, Rendra dan Alya mendapati wanita berpenampilan segar dengan kacamata berbingkai oval sedang menekuri setumpuk dokumen.
"Selamat pagi, Bu," sapa Alya ramah, ditanggapi dengan senyum senada dari si wanita sembari beranjak dari tumpukan dokumen di hadapannya. Tak begitu banyak barang yang ada di ruangan berukuran 7x6 meter persegi ini, hanya meja kerja yang bersisihan dengan dua almari besi dan sofa L berbahan kulit suede di sudut. Bau cat baru masih tercium, sepertinya ruangan ini baru saja difungsikan kembali.
"Bu Alya, ya ampun udah gede banget perutnya. Gimana sehat, 'kan?" Anggi menjabat tangan Alya kemudian membimbingnya duduk di sofa. "Ini siapa, Bu?" Pandangan bertanya kemudian terbit saat mendapati lelaki tegap dengan penampilan seperti eksekutif muda tanpa dasi dan jas ikut melemparkan senyum di samping Alya.
"Alhamdulillah sehat, Bu. Yah, walaupun udah pegel banget pinggangnya, tapi kata dokter nggak boleh males-malesan. Harus rajin jalan-jalan biar kontraksi cepet dateng." Alya mengelus pinggang sembari tersenyum lalu melirik Rendra. "Oh, iya, kenalkan ini Mas Rendra, yang akan menggantikan saya selama cuti, Bu." Alya mengkode Rendra agar menjabat tangan Anggi dengan kerlingan mata.
"Oh, Pak Rendra, saya Anggi, kebetulan dipercaya ketua yayasan untuk mengkoordinir teman-teman guru di sini." Anggi menyambut uluran tangan Rendra, lalu kembali fokus pada Alya, "HPL-nya kapan, Bu? Duh, kalau saya sudah malas keluar-keluar rumah, sudah buncit banget begini." Anggi mengelus perut Alya, senyum tulus tampak tersungging di bibir berbalut lipstik cokelat muda milik wanita ini.
"HPL sudah tiga hari yang lalu, Bu. Nggak tau, nih, si jabang bayi kayaknya masih betah di perut mamanya." Alya meringis dan mengusap-usap perutnya yang sekarang sedang mengeras, si bayi di dalam sana sepertinya baru saja menggeliat. "Jadi gimana, Bu? Mas Rendra bisa jadi pengganti saya di sini, 'kan?" Alya memancing agar Anggi fokus pada tujuan utama mereka datang kemari.
"Begini, Bu Alya, saya harus konsultasi dulu dengan kepala yayasan terkait guru pengganti. Kalau sudah fix, besok bisa saya agendakan untuk micro teaching. Karena prosedur penerimaan guru baru memang harus melewati ujian itu dulu, selain administrasi dan wawancara langsung dengan kepala yayasan," terang Anggi serius. "Ya, walaupun Pak Rendra ini posisinya hanya menggantikan, tapi kami pihak sekolah tetap ingin mempertahankan kualitas pengajar." Anggi melanjutkan.
Alya dan Rendra mengangguk paham, keberadaan kepala sekolah memang merupakan pemegang tampuk kekuasaan di sekolah. Namun, karena sekolah swasta bernaung di bawah yayasan, posisi ketua yayasan menjadi sosok yang paling disegani dan pengambil keputusan tertinggi. Apalagi yang terkait dengan pengeluaran sekolah untuk gaji guru baru serta pengadaan seragam serta fasilitas bagi guru tersebut.
"Kalau boleh tahu, Pak Rendra ini sarjana apa, ya? Dari universitas mana? Lalu aktivitas sehari-harinya sebelum melamar di sini apa?"
Rendra mendeham lalu mulai menjawab pertanyaan sesi wawancara dadakan dari kepala sekolah. "Saya dulu satu jurusan dengan Alya, Bu, Sarjana Sains Matematika, lulusan UI. Jujur saya tidak ada basic mengajar, tapi saya akan berusaha agar bisa memberi yang terbaik, selama menggantikan Alya. Sehari-hari, saya berwiraswasta di bidang jasa konstruksi."
Anggi mengangguk-angguk dengan ekspresi tak terbaca. Ada setitik rasa kecewa karena lelaki di hadapannya minim pengalaman mengajar. Namun juga ada rasa takjub karena kejujuran dan cara berbicara Rendra yang meyakinkan. Pengalaman Rendra memenangkan tender milyaran rupiah ikut andil besar dalam sesi wawancara kali ini.
"Mas Rendra ini bisa ngajar, kok, Bu. Sering diminta ngisi materi tentang cara merintis usaha di komunitas start up di Solo. Oh, iya, Mas, berkas lamarannya mana?" Alya menoleh ke arah Rendra, sedikit menyesal kenapa tidak mengingatkan tentang berkas lamaran dari kemarin. Membodohkan dirinya sendiri, Alya khawatir kalau permintaannya malah membuat posisi Rendra semakin minus di mata Anggi.
Tanpa diduga, Rendra mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna cokelat dari ranselnya. Alya menyambar amplop itu tak sabar lalu meneliti isinya, seketika senyum semringah terbit di paras wanita ini.
"Ini, Bu. Semua data yang diperlukan sebagai pertimbangan sudah ada di dalam. Saya harap Ibu berkenan mengusahakan agar Mas Rendra bisa diterima di sini. Karena saya juga ingin anak-anak yang saya ampu kelasnya mendapat yang terbaik. Saya yakin Mas Rendra ini bisa sekaligus jadi wali kelas menggantikan saya."
Rendra mendeham lagi, sebenarnya sebagai bentuk protes karena apa yang disampaikan Alya di luar aturan main yang sudah dijelaskan Dimas kemarin. Namun, apa hendak dikata, posisi Rendra sedang tidak memungkinkan untuk mendebat. Hanya helaan napas yang bisa Rendra keluarkan, berusaha paham bahwa wanita terkadang memang sulit dideteksi keberadaan hati dan perasaanya, juga kemauannya.
Anggi menerima amplop dari Alya, "Baik, akan saya usahakan. Tunggu saja kabar dari saya, ya, Bu Alya, Pak Rendra."
"Baik, kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Saya tunggu kabar baik dari Ibu," ucap Alya sembari beranjak dan sekali lagi meringis tertahan mengelus perutnya, diikuti oleh Rendra.
"Oke, Bu Alya, sehat-sehat untuk kehamilannya, ya!"
Setelah basa-basi ritual berpamitan dengan jabat tangan, keduanya keluar dari ruang kepala sekolah menuju lobi. Rendra yang menangkap gestur tak nyaman dari Alya mengajak untuk duduk sebentar di sofa lobi sekolah.
"Kenapa, Al? Sakit perut? Udah waktunya?" tanya Rendra khawatir.
"Nggak tau, nih, Mas. Kenceng terus dari tadi, biasanya kalau pas kayak gini minta dielus papanya," ringis Alya sambil mengusap-usap puncak perutnya.