"Astrid Daneshwara Pascalia."
Tak ada jawaban.
Hanya terdengar kasak-kusuk di bangku paling belakang, dua blok sebelah kanan dari tempat Rendra berdiri. Di sebuah ruang kelas seluas lima puluh meter persegi berisi tiga puluh enam siswa yang tengah duduk di bangku masing-masing. Tampak beberapa coretan tangan Rendra di white board yang dengan antusias dipindahkan ke buku saku, secarik kertas, atau bahkan di aplikasi note ponsel siswa.
Pertemuan pertama di kelas yang diampu dimanfaatkan Rendra untuk saling mengenal satu sama lain. Rendra sudah menyampaikan data dirinya yang diperlukan oleh siswa, seperti, nama, alamat, nomor ponsel, dan—ini yang paling ditunggu murid-murid cewek di kelas—status.
Rendra memilih tidak menyertakan Ludwig di belakang Narendra Kusuma pada rangkaian nama yang dikenalkan pada siswanya, karena tak ingin menimbulkan pertanyaan susulan. Alamat yang diberikan adalah alamat rumah Mamanya di Bandung, alih-alih memberikan alamat kos yang baru saja Dimas carikan untuk Rendra. Lagi-lagi, karena masih merasa perlu menjaga privasi dari anak-anak—terutama yang memakai rok panjang dan lengan kemejanya dilipat dua senti ke atas—yang dalam tatapan sepertinya begitu berminat berada dekat-dekat dengan wali kelas kece mereka.
Soal nomor ponsel, Rendra akui sebenarnya sangat malas berbagi, karena tak ingin direpotkan dengan sesi curhat yang mungkin akan ia dapatkan nanti. Namun, mau tak mau, atas nama pelancar komunikasi antara wali kelas dan siswanya, Rendra terpaksa memberikan main number-nya.
Soal status, dengan santainya Rendra menjawab, "Istri saya belum dua." Dibalas dengan helaan napas kecewa dari penjuru blok bangku di sebelah kiri Rendra. Rendra sengaja membuat pernyataan ambigu untuk membangun tembok tinggi di antaranya dan murid-murid Alya. Karena bagi Rendra, mereka seperti anak-anak yang sepenuhnya harus dibimbing, bukan digoda, apalagi diributkan dengan urusan cinta.
Masih menyebutkan satu per satu nama siswa kelas XI IPA 4 yang daftarnya Rendra dapatkan dari Maudy, dengan tebusan sebuah senyum menawan. Setelahnya Rendra diliputi rasa tak enak karena takut Maudy merasa diberikan harapan palsu olehnya, mengingat pertemuan mereka beberapa hari yang lalu bersama Alya. Namun akhirnya Rendra tidak ambil pusing, ia hanya berusaha menjadi pribadi yang lebih ramah, demi menjaga nama baik Alya. Mengingat proses micro teaching dan tes wawancara yang ia jalani kemarin bisa berhasil karena andil Alya. Walau sebenarnya semua ini bukan keinginannya.
Baru sampai urutan keenam belas nama siswa yang Rendra sebutkan, yang sebelumnya selalu ditanggapi dengan ekspresi antusias sembari mengangkat tangan tinggi-tinggi dari si empunya nama. Namun sekarang?
"Astrid Daneshwara Pascalia," ulang Rendra sekali lagi. Pandangannya otomatis teralih ke bangku yang kasak-kusuk.
"I-iya, Pak!" Seorang cewek akhirnya gelagapan menjawab Rendra, lalu mendesis marah pada teman sebangkunya, "Sal, kok, nggak bangunin aku dari tadi, sih?"
Yang dimarahi hanya meringis sembari mengusap punggung si cewek, berharap kesalahannya termaafkan "Maaf, Nesh. Kamu nyenyak banget, aku ndak tega bangunin."
Rendra melirik kertas daftar nama siswa di genggamannya, memastikan tak salah memanggil nama, "Pascal." Lalu pandangannya teralih kembali pada si cewek yang mengangkat tangan, "Kamu sakit?"
Bukan salah Rendra kalau bertanya seperti itu, karena ia tahu siswa ini baru saja fokus. Tidak seperti cewek di sampingnya, yang dari tadi tak berhenti tersenyum, mungkin karena terkesima dengan gestur dan suara Rendra. Masker sekali pakai berwarna putih kehijauan menutupi separuh wajah siswa yang gelagapan tadi, membuat Rendra hanya bisa menangkap sorot matanya yang tampak menahan kantuk.
"Enggak, eh, iya sedikit, Pak," jawab Anesh ragu, karena ia sedang beralasan untuk melegalkan lima belas menit tidur nyenyaknya baru saja.
"Bisa dibuka maskernya?" pinta Rendra yang menurutnya masih terbilang wajar. Ini sedang di dalam kelas, kurang sopan kalau memakai masker. Memangnya ia dan siswa lain itu debu? Kecuali kalau itu merupakan bentuk kepercayaan, dan Rendra tak yakin itu alasannya karena tak melihat rangkaian simbol keagamaan lain dipakai oleh siswa yang dipanggilnya dengan sebutan Pascal.
"Nanti kalau temen-temen ketularan gimana, Pak?" Lagi-lagi, alasan kedua dilontarkan untuk mendukung alasan pertama.
"Ya sudah, kamu yang di samping Pascal, siapa?" Lirikan maut Rendra seketika membuat detak jantung Salma berdenyut satu setengah kali lebih cepat.
"Salma Nur Azizah, Pak." Kali ini stereotip sebagai cewek klemar-klemer yang dimiliki putri Solo sementara terpatahkan, karena Salma menjawab pertanyaan wali kelasnya secepat kilat. Seperti tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengambil hati guru kecenya.
"Bantu antar Pascal ke UKS," perintah Rendra, tegas tak terbantahkan. Salma mengangguk patuh lalu menarik lengan Anesh melewati lima bangku di depannya. "Permisi, Pak." Keduanya lalu pamit sembari menggangguk hormat pada Rendra dan segera menghilang dari kelas.
"Si Pare panggil aku apa tadi, Sal?" Anesh membebaskan separuh wajah dari balutan masker, yang sebenarnya sejak tadi membuatnya gerah. Kantuknya sudah benar-benar hilang, digantikan dengan denyut di pelipis. Sempat berpikir bahwa ia mendapat karma karena berbohong pada gurunya, tapi, apa iya karma bisa datang secepat itu?
"Apa, sih, Nesh? Aku ndak perhatikan. Asli aku ngefans banget, deh, sama Pare. Udah ganteng, ngobrolnya pakai saya kamu keliatan keren-keren cuek gitu, lho, Nesh!"
Anesh memutar bola mata, jengah dengan kelakuan sahabatnya. Memang, sih, Pare—sebutan trio Salma, Anesh, dan Sisil untuk Rendra—itu lumayan ganteng, tak dimungkiri kalau Anesh pun tertarik. Namun, Anesh memilih untuk tidak menunjukkan ketertarikan, karena suatu hal yang belum ia ceritakan pada sahabatnya.
Lagipula, jeda usia antara mereka yang Anesh yakin cukup jauh, membuat Anesh berpikir realistis. Tidak mungkin ada perasaan aneh-aneh di antara guru dengan muridnya, 'kan? Dan lagi, Anesh pikir guru kecenya ini pasti sudah menjalin hubungan serius dengan seseorang.
Berjalan menyusuri koridor depan kelas, mereka berdua melewati tiang-tiang tembok berbentuk kotak, berselang-seling dengan pot-pot besar berisi tanaman hias. Suara peluit dari lapangan outdoor menarik perhatian, karena classmeeting di hari ketiga ini memang sedang ada pertandingan perempat final basket antarkelas. Bukannya ke UKS, Salma dan Anesh justru ikut berjajar di tepi lapangan, bersorak bersama puluhan siswa lain saat ada tim yang mencetak poin.
"Nesh! Ya ampun, Jeff kiyut banget! Kayak oppa Korea, deh! Aku ndak nolak kalau disuruh ngelap kringetnya," jerit Salma di antara teriakan cewek-cewek yang juga mengidolakan Jeff. Cowok bermata hampir sipit berkulit putih yang sekarang sudah tampak kemerahan karena tertempa sinar matahari. Rambut ikalnya berkilat basah menambah kadar kemaskulinan Jeff, yang jelas membuat fans Jeff makin histeris.
"Sal, kamu labil banget, sih? Barusan tadi muji-muji Pare sampai pengin muntah aku dengernya. Sekarang lihat Jeff histeris juga. Lama-lama Pak Pur penjaga sekolah juga kamu bilang ganteng," cibir Anesh, kesal tapi matanya pun sesekali mencuri pandang ke arah fokus Salma. Bagaimanapun Anesh juga seorang perempuan yang tertarik pada visual mencengangkan lelaki, walau cukup ia gaungkan dalam hati.
"Mumpung masih muda, ta, Nesh. Puas-puasin nikmatin anugrah Gusti Allah. Nanti kalau sudah jadi istri orang, kan, udah ndak bisa macem-macem. Ngerti?" Jawaban sok bijak Salma melibas cibiran sahabatnya, membuat Anesh kembali memutar bola mata jengah.
"Nesh! Jeff looking for you tadi, kok, baru nongol, sih?" Jenis pembicaraan yang sok keminggris ini sudah pasti bisa ditebak milik siapa. Sisil, anggota geng Anesh yang berbeda kelas, walau masih satu jurusan IPA.