Apa kamu bisa membayangkan rasanya meninggalkan tempat yang sudah sangat berarti dalam hidupmu? Seakan-akan tempat itu adalah dirimu yang kedua. Tempat yang keterlaluan nyaman. Biar kuberitahu, rasanya tuh suram sekali. Seakan sebagian diriku hancur.
Yep. Aku hancur.
“Sayang, ini dia rumah baru kita!” seru Mom memamerkan rumah dua tingkat yang terdiam sombong di depanku. Aku tidak mau repot-repot untuk melihatnya secara mendetail. Jika rumah itu manusia, aku tidak mau berkenalan dengannya, apalagi berteman.
“Aku lelah,” sahutku lunglai. “Dan aku tidak mau tur di rumah aneh itu,” lanjutku.
Mom merangkulku dan membawaku masuk ke rumah asing itu. Atmosfernya terasa dingin. Rumah bergaya modern, tapi hawanya seperti tempat kuno dan mistis. Di belakang terdengar Dad sedang menyuruh Mas Jo untuk beristirahat. Aku tidak mau menoleh ke belakang. Apalagi melihat kakakku, Jonathan Lamuel Cakrawangsa.
Sesampainya di lantai dua, Mom membuka pintu dengan penuh semangat. Apa dia tidak lelah perjalanan? Jika memang hanya berpura-pura agar supaya aku senang, rasanya lebih baik Mom tidak berakting. Justru aku senang jika Mom menceritakan perasaan sebenarnya. Dengar Mom, aku tahu Mom juga tidak suka dengan pindah rumah ini.
“Ini dia kamarmu!” seru Mom. Aku mengedikan bahu dan berjalan ke dalam kamar, kamarku katanya. Ruangan yang luas, ada kamar mandi dalam dan kaca besar memamerkan pemandangan bukit di luar sana. Natural sekali. “Kamu bisa mendekornya sesuka hati!” seru ibuku lagi. Tentu saja boleh, Mom bukan tipe ibu yang serba banyak aturan.
“Mom, istirahatlah, aku juga ingin tidur,” kataku sambil membantingkan tubuh ke kasur. Mom tidak merespons, tapi kurasakan pelukannya dari balik punggungku. Ibuku diam dan hidungnya membersit.
“Jangan bilang Dad. Ibumu hanya lelah perjalanan,” bisik Mom. Kurasakan tangannya mengelus puncak kepalaku.
“Jangan pura-pura,” sahutku yang berusaha menahan tangis.
“Tentu saja, Sweetheart, Mom sedih.” Pada akhirnya Mom jujur. Aku membalikan badan dan melihat mata biru ibuku mengucurkan tangis, hidungnya memerah dan kupeluk dia. “Mom sedih dan marah,” tambahnya menambah air mataku jatuh. “Jangan bilang—“