Dua bulan sudah berlalu. Selama itu aku belum berteman dengan rumah asing ini. Hawanya tetap dingin seakan dia memusuhiku karena tidak mau berteman. Mom sudah bisa beradaptasi, rutinitasnya kembali normal dengan semangat yang sama. Dad semakin betah karena ini yang dia mau, ketenangan alam. Soal Mas Jo, aku tidak mau memikirkannya.
“Sayang, turun dulu, Nak. Ayo sarapan,” teriak Mom.
“Ya!” teriakku juga agar Mom tidak teriak-teriak lagi.
Aku turun kemudian disambut oleh senyuman Mom yang sedang menuangkan sereal ke mangkuk. Dia memakai daster, ugh, di sini, Mom sudah seperti pribumi. Dad juga ada, sedang duduk dan menonton berita dari iPad-nya.
“Morning, Sweetheart,” sapa Mom. Kilauan matanya menghangatkanku.
“Morning,” balasku diakhiri senyum. Jujur saja, aku ini sedang kehilangan semangat hidup, tapi perlakuan Mom kepadaku selalu berhasil meluluhkan hati. Kasih sayangnya membuat hatiku yang hitam pekat terpercik bara merah.
“Dua bulan lho ini, kamu nggak mau liburan?” tanya Mom saat suapan pertama serealku. “Ya setidaknya keluar dari rumah,” lanjut Mom sambil wajahnya melirik Dad. Kurasa ibuku perlu bantuan Dad.
“Benar tuh kata ibumu. Apa kamu nggak bosan tinggal di rumah mulu. Negara ini banyak tempat wisata,” kata Dad tanpa menoleh dari iPad. Aku menggembungkan pipi. Well, di New York, aku sering melihat foto tempat wisata alam yang menarik di Indonesia. Air terjun, pantai eksotis, dan banyak lagi. Aku mau mengunjungi tempat-tempat menarik itu. Sayangnya tidak dengan sekarang. Aku kehilangan minat.