“Mom!”
“Kim, dengar, ayo kamu segera siap-siap untuk ke sekolah. Jangan mengecewakan Dad dan Mom kalau kamu bandel,” seru Mom dari lantai dasar.
Aku menyibak selimut dengan kesal dan mengacak-ngacak rambut seakan frustasi. Langit sudah terang, cahaya mataharinya sudah menyambutku terlalu bersemangat sampai menusuk mata. Aku menghela napas. Hari apa ini? Hari menyebalkan? Atau hari menuju hari-hari yang menyebalkan? Aku menguap.
Dad belum terdengar suaranya. Ada dua alasan, pertama; belum bangun atau kedua; masih menahan emosinya.
“Ya... ya... harus pakai baju apa aku ini, Mom?” teriakku yang sebenarnya mengeluarkan kekesalan.
“Pakai seperti biasa kamu akan berangkat sekolah,” balasnya. Aku tidak mau pergi ke sekolah. Tidak mau!
Aku menguap lagi. Membuka pintu kamar lalu melihat Mas Jo sedang duduk di ranjangnya sambil menyentuh-nyentuh layar iPad. Aku membanting pintu lalu ke kamar mandi, menggosok gigi dan mencuci muka.
“Ini adalah hari yang buruk... ini adalah hari yang buruk... ini adalah hari yang buruk,” ucapku seolah sedang mengutuk. Maafkan aku Mom, aku tidak bisa selalu bersemangat dan berpikiran positif sepertimu.
Setelah siap, aku bergegas menuruni tangga dan berpapasan dengan dr. Endah. Dia tersenyum sambil menyapaku dan tentu saja langsung memelukku. Dia ini tipe manusia yang suka memeluk tanpa melihat mimik wajah orang yang akan dipeluknya.
“Good luck untuk hari pertama sekolahnya, Kim!” seru dr. Endah. Meski baru satu minggu berkunjung ke rumah, dokter itu sudah seperti anggota keluarga. Sangat ramah dan kadang aku justru kesal dengan keramahannya.
“Thanks.” Bagaimana pun, Mom selalu mengajariku sopan santun. Perempuan yang selalu memakai celana kain, kemeja dan jas itu langsung menaiki tangga lalu masuk ke kamar Mas Jo. Kulihat Mas Jo senang melihat dr. Endah yang sedang merentangkan tangannya. Mereka pun saling berpelukan singkat. Tentu saja.
“Bagaimana perasaanmu pagi ini, Jo?” seru dr. Endah selalu membuka percakapan dengan pertanyaan membosankan itu.
“Baik, Dok. Kau tahu tidak, aku sedang membuat algoritma aplikasinya lho!” seru Mas Jo membuatku memutarkan bola mata.
Di dapur, Mom sedang mengisi kotak bekal makanku dengan roti lapis dan susu kotak. Setelah beres, telunjuknya langsung menunjuk jam dinding dan juga roti serta susu yang ada di atas meja. Itu artinya sekarang juga aku harus mengganti kursi makan di mobil. Sekali lagi, aku hanya bisa memutarkan bola mata.
Di dalam mobil, selain sereal dan susu, Mom menambah asupan dengan segala nasihat. Katanya aku harus bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru. Memiliki teman baru—ini sulit sekali. Dan Mom bilang kalau aku harus menerima segalanya yang aku lihat. Dengan kata lain, ibuku meminta kalau aku harus bisa bertoleransi. Well, itu sih tergantung situasi.
Sebenarnya aku malas sekali sekolah. Bukan belajarnya yang bikin malas, tapi manusia-manusianya. Malas sekali dengan segala macam hal yang terjadi di sekolah. Apalagi hari ini adalah pertama kalinya aku keluar rumah. Ke tempat lebih asing lagi.
“Mom, apa sebaiknya aku home schooling saja?” tanyaku. Wajarkan kalau aku terus berusaha.
“Honey, kamu bisa kok. Bisa tinggal di sini seperti di New York,” MANA BISA MOM! “Mom tahu apa yang kamu rasakan. Suasana berbeda dan kamu adalah orang minoritas. Tapi tolong... kamu harus bisa karena Mom tidak menjamin bahwa kami akan kembali lagi ke New York.” Perutku sakit dan ini adalah percakapan paling kejam yang pernah kudengar.
Aku akan tinggal selamanya di tempat antah berantah ini. Selamanya. Sampai aku mati.
“Sayang, tempat ini indah. Kamu hanya menutup mata.”
Oh, yah, sekarang aku ingin juga menutup telinga.