Aku duduk menghadap jendela, melihat hutan rimba yang sebenarnya hanya kegelapan. Agak mengecewakan, karena sebenarnya aku ingin melihat gemerlap cahaya gedung-gedung dan juga lampu jalanan. Dari lantai dasar, Mom terus berteriak mengajakku untuk makan malam. Aku sedang malas, apalagi makan malam. Sekarang aku hanya butuh oksigen dan ketenangan, keheningan.
Mas Jo terdengar melolongkan nyanyian entah lagu apa. Kuyakin dia sedang menuruni tangga dengan perasaan seolah-olah menjadi makhluk hidup yang paling bahagia. Seolah menjadi manusia yang selalu berambisi, penuh semangat. Selalu begitu. Jo selalu begitu.
Kupeluk lutut, menunduk dan Mom membuka pintu tanpa permisi. “Sayang, kau ini punya mulut yang seksi, kenapa tidak berfungsi, hah?” tanyanya sengit meski masih dalam intonasi yang enak didengar.
“Makan malam tanpa aku apa susahnya. Toh aku ini sudah besar, Mom. Kalau lapar tinggal ambil. Dan sekarang aku hanya butuh diam di sini,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Ini memang tidak sopan, tapi Mom harus mengerti situasi hatiku.
“Are you ok, Honey?” tanyanya lembut bersama langkahnya yang mendekat. Aku hanya diam sedangkan Mom mengangkat kepalaku. “Oh, no, awan hitam,” Mom penulis artikel, tapi bahasanya terlalu novel. Awan hitam, pilihan tepat untuk tidak mengatakan; wajahmu terlihat menyedihkan, Honey. “Begini saja, kamu simpan dulu awan hitam itu dengan apik. Sekarang turun, senyum ke Dad dan abangmu, lalu makan, setelah itu terserah,” sahutnya membuatku semakin membutuhkan kamar ini ketimbang satu piring makanan.
“Mom, please,” rengekku, “Aku tidak nafsu makan, Mom,” tambahku meyakinkan bahwa satu kali tidak ikut makan malam tidak akan membuatku mati juga.
“Sayang, dengar, makan sedikit sajalah. Mom tidak mau kekacauan pikiranmu malah membuat fisikmu sakit. Ayo... makan sedikit saja dan kamu tahu bukan jika makan malam itu bukan urusan makannya yang dipentingkan, tapi—”