Bangun pagi, mandi—meski malas, lalu memakai kemeja putih dan rok yang panjangnya di bawah lutut. Kemudian memakai kaus kaki putih hampir setinggi lutut. Apa aku terlihat aneh? Kurasa tidak, karena sepatu Chuck Taylor tanpa kutalikan sudah menambah penampilanku menjadi agak keren, maksudku, agak terlihat enak dipandang. Ah, ya, kuyakin semua orang bakal enak memandangku meski tanpa riasan. Ini enaknya jadi bule cantik, tapi menurutku, cantik itu menyebalkan.
Aku membuka pintu, melihat Mas Jo yang kelihatannya sudah mandi. Apa dia sudah sarapan? Sekarang aku menuruni tangga menuju meja makan. Saat di tengah-tengah tangga, aku melihat dr. Endah muncul dari pintu depan sedang melangkah gemulai ke arah meja makan. Biar kutebak, dia pasti langsung memeluk Mom sambil mengucapkan selamat pagi. Yes, tentu saja tebakanku benar. Setelah memeluk Mom, dokter itu memelukku yang kaku, menjadikan pelukan kami bukan hangat, tapi canggung. Dad juga dipeluk meski tidak seheboh tadi. Ini konyol.
“Sarapan, Dok,” kata Mom sambil memberiku mangkuk berisi sereal. Aku mengambil susu dan langsung menuangkannya ke dalam mangkuk. Dad seperti biasa, selalu tampil wibawa dan tidak banyak omong. Well, sama sepertiku sih. Tampil cool dan tidak banyak omong.
Dokter itu duduk, Mom juga duduk, sebelumnya dia mengecup puncak kepalaku. Mom-yang-selalu-penuh-kasih-sayang. Mas Jo turun diiringi siulan menyenangkan yang sebenarnya membuatku risi. Aku cepat-cepat menyendok sereal dan memakannya tanpa jeda.
“Jo, lihat, adikmu pakai seragam sekolah!” seru Mom diiringi tawa dr. Endah. Aku terus fokus makan sementara dari sudut mataku, Jo terlihat sedang menilaiku dari ujung rambut sampai kaki. Dia menyeringai.
“Sepatuku,” katanya, aku diam, menahan agar tidak ada awan hitam di kelopak mataku menjadi hujan. “Kau akan jatuh jika caramu memakainya begitu,” tambahnya yang sama-sama sudah lancar berbahasa Indonesia. Aku masih diam, Mas Jo juga diam seolah menunggu jawabanku.
“Duduk, Jo. Mari sarapan,” ajak dr. Endah yang mungkin bisa membaca situasi. Aku menggenggam erat sendok dan cepat-cepat berdiri meninggalkan meja makan. Mom pasti melotot, karena aku bisa merasakan tatapannya yang menusuk punggungku.
“Sudah biarkan saja, Sayang,” Dad bersuara. Ya biarkan saja bungsumu ini pergi.
Aku terus berjalan, masuk ke mobil, menyambar hoodie dan langsung memakainya dengan tergesa.
***
“Selamat pagi Kim,” sapa cewek aneh. Kenapa sih orang yang pertama kali aku temui di sekolah harus dia. Bikin rusak mood saja. “Bisa bicara sebentar?” tanyanya. Ada apa nih, kok aku tidak enak hati meski cewek aneh itu sedang tersenyum.
“Apa?”
“Sebelumnya, terima kasih karena sudah datang tepat waktu,” sahutnya semakin lembut. Dasar aneh.
“Senin. Hanya Senin saja,” jawabku sambil menyeringai. Aku melihat si cewek aneh mengernyit. Mungkin dalam pikirannya sedang bertanya kepada diri sendiri. Apa maksudnya dengan hanya-Senin-saja?
“Kim, aku mau minta maaf karena kemarin sudah melayanimu dengan tidak nyaman,” katanya semakin aneh dan teramat formal.
“Kamu ini bicara aneh sekali sih. Sikapmu juga sangat aneh,” balasku ketus.
“Baik, mohon maaf kalau sikapku ini menyebalkan. Aku hanya ingin meminta maaf soal pelayananku kemarin. Ini,” Dia menyodorkan paper bag berwarna cokelat. “Kacamata dan maskermu, sudah kucuci, kecuali kacamatanya tentu saja.”
“Kamu pikir itu lucu?”
“Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf.” Aku tidak akan memaafkannya. Kecuali jika sikap dia tidak selalu membuatku kesal. Cukup sudah, aku tidak mau berdebat. Kuambil paper bag itu, lalu membawanya menuju gedung sekolah. Di sana, sebelum masuk pintu kaca utama, aku melihat tempat sampah. Paper bag itu kulempar ke dalam tempat sampah. Tepat sasaran! Jeritku dalam hati ketika tas itu menghilang dari pandangan.
Aku sedikit menyeringai bahkan nyaris terbahak mengingat kejadian tadi saat menghadapi si cewek aneh. Harap ingat baik-baik, aku bukan mau menyenangkan dia dengan cara tidak terlambat ke sekolah. Sama sekali bukan itu alasanku tidak terlambat ke sekolah hari Senin.
Aku menunduk memperhatikan sepatu setelah terbebas dari si cewek aneh yang pagi ini selalu menyampaikan kalimat permintaan maaf. Sori ya, tidak semudah itu.
Di sepanjang koridor, banyak ucapan dan sapaan yang masuk ke dalam telingaku. Ya, satu sekolah sudah tahu kalau aku adalah manusia yang spesiesnya berbeda. Tidak sedikit juga yang tiba-tiba menghadapku sambil mengajak berjabat tangan. Oh sori juga ya, tidak semudah itu.