Karena ujian semester ganjil sudah selesai, sekolah hanya diisi oleh kegiatan lomba futsal antar kelas dan juga bazar. Jadi, tentu saja aku dan Tuan Nakal lebih memilih menghabiskan waktu di atap kelas ketimbang ikut berpartisipasi. Benar, Bas itu memang nakal di sekolah. Tapi menyenangkan.
“Liburan nanti mau ke mana, Kim?”
“I don’t know. Selama tinggal di sini, aku tidak pernah liburan. Fun fact, my room it’s the best place in the world. Memang sih Mom dan Dad selalu mengajak, tapi aku selalu menolak,” jawabku yang sekarang lebih banyak bicara daripada biasanya. Kim yang irit bicara menghilang kalau di depan Bas.
“Kemah, yuk!” ajak Bas langsung.
“Hmm... that sounds like fun. Aku pikir-pikir dulu deh. Masih ada waktu untuk berpikir, ‘kan? Sekarang masih hari pertama lomba.”
”Sure.”
“Huh, kamu sok Inggris.”
“Idih, lo juga sok Indo.” Dan kami terbahak.
Aku dan Bas melihat ke lapangan. Seluruh murid sedang berbaris untuk mengikuti upacara pembukaan acara kegiatan. Aku dan Bas malah terbaring melihat awan dan langit biru. Menyilaukan awalnya, tapi setelah menyesuaikan pandangan, pikiranku malah tenang.
Ketenangan di sini melibatkan alam. Anginnya, udaranya, pemandangannya. Mom, apa aku memang terlalu menutup mata? Aku hanya merasa muak kalau segala pikiran terburukku menyerbu masuk. Memuat ulang dan menayangkan tragedinya. Tragedi tragis di mana aku kehilangan diriku. Aku merasa kehilangan diri. Dan secara pelan-pelan, semua itu, semua pikiran dan kejadian yang mengubahku sudah berhasil membuat luka-luka kecil yang selalu ikut ke mana pun aku pergi.
Aku sering merasa capek. Padahal aku tidak melakukan aktivitas berat. Aku sering merasa lelah dengan diriku sendiri. Aku merasa enggan melakukan apa pun. Aku ingin diam, hanya berdiam diri dalam keheningan atau bersama lagu-lagu. Kadang aku tidak mengerti, kenapa lagu-lagu bisa menjadi ‘teman’ baik.
“Kim.” Ding dong! Aku kembali sadar. Bas melihatku dengan tatapan heran.
“Yep? Sori tadi hampir ketiduran, adem banget soalnya di sini,” sahutku membual.
“Ada kerjaan nih. Antar paket, mau ikut? Daripada gabut di sini.”
“Boleh. Eh maksudku, emang boleh antar paket kurirnya berdua?”
“Halah lagian gue cuma gantiin kurirnya yang lagi cuti kok. Yuk! Kita hebohkan penerima paket karena kurirnya bule.” Bas memberiku gagasan yang terdengar jahil.
“Oke.”
Kami turun dari atap dan masuk kelas untuk mengambil ransel dan tas selempang milik Bas. Ketika kami siap pergi, Azla datang.
“Mohon maaf, ini di luar sedang ada kegiatan. Kenapa kalian tidak ikut berpartisipasi memeriahkan acara ini?” tanyanya mulai seperti pegawai bank.
“Apa pentingnya,” jawabku. Bas diam. Ya, diamlah, jangan mau bicara dengan orang aneh.