Menurut papan informasi. Hari ini adalah pembagian buku rapor. Orangtua atau wali harus datang ke sekolah untuk membawanya. Aku kecewa karena Mom yang akan membawanya, bukan Dad meski wajahnya agak bule juga—ayahku keturunan Belanda. Well, dengan begitu wajah Mom juga akan terekspose. Dan kami akan populer. Semakin populer bukan?
Aku sudah sampai di sekolah bersama Mom. Tentu saja banyak, dan semakin banyak orang di sekolah ini yang menatap kami dengan terkagum-kagum. Sebagian orangtua murid menyapa Mom seolah sudah akrab. Berbeda denganku, kejadian seperti ini bisa Mom tangani dengan keramahannya.
“Apa kamu baik-baik saja selama ini Kim? Dengan tatapan mereka?” tanya Mom ketika kami sampai di kelas. Aku menatapnya nanar.
“Yeah, i’m fine,” jawabku membuat Mom tersenyum sambil mengelus rambutku.
“Mom bangga sama kamu.” Terima kasih, meski semua ini palsu.
Suasana kelas sudah ramai. Seluruh murid diminta untuk menunggu di luar. Aku keluar, menunduk melihat tali sepatu yang tentu saja tidak kutalikan. Ke mana Bas? Apa dia membolos di hari terakhir sekolah sebelum liburan ini. Kedengarannya agak mengecewakan. Karena dia tidak pamit kepadaku.
Aku duduk di kursi panjang yang selalu ada di koridor. Teman sekelasku sibuk dengan obrolan entah apa. Aku tidak akrab dengan mereka. Kecuali Bas, cuma dia dan sekarang tidak ada di sini.
“Hai,” sapa Bas terdengar... tidak bersemangat.
“Hai!” sahutku terdengar agak berlebihan. “Are you ok?” tanyaku. Bas menunduk semakin dalam. Dia berjongkok dan membenarkan tali sepatuku. Rambutnya yang ikal sekarang dipotong lagi menjadi model crop cut layaknya Zayn Malik pada masanya. Meski rambutnya terlihat menyegarkan, sayang sekali sorotan matanya terlihat redup.
“Rapor gue nggak ada yang ngambil,” katanya sambil duduk. “Diambil sendiri bisa kali, ya?” tanyanya terdengar ragu.
“Kamu sih, sok-sokan kabur segala.” Bas makin murung. Aku jadi tidak mengerti bagaimana bisa dia masuk sekolah ini.
Setelah berpikir, aku bangun lalu masuk ke kelas. Menunduk ke Wali Kelas dan menunjuk ibuku. Bu Wanda mengangguk. Pemandangan di sini agak menakutkan. Semua tatapan aneh seperti menusuk tubuhku. Sebelum menimbulkan hal-hal yang tidak enak bersama kamera ponsel mereka, aku segera berbisik kepada Mom dan dia mengangguk mantap. Dengan tergesa aku keluar, menghindari kamera yang sedang membidikku.
“Done!” seruku sambil menepuk pundak Bas. Dia menatapku bingung. “Apa?”
“Berterima kasihlah kepada ibuku kalau buku rapormu akan dibawa olehnya.” Dan Bas kembali mendapatkan semangatnya.
Aku dan Bas menunggu sambil mengobrol tentang liburan. Biasanya topik itu selalu membosankan, tapi Bas berhasil membuatku tertarik. Dia mengajakku kemah di Bandung, di Ciwidey lebih tepatnya. Aku belum menyetujuinya. Karena tentu saja harus meminta izin terlebih dahulu.
Pembahasan pun berlanjut kepada keluarga angkatnya. Katanya, akhir-akhir ini dia sering kepikiran soal orangtuanya di Jakarta.
“Menurut lo gimana?” tanya Bas tenang. Wajahnya setenang itu ketimbang dia cerita tentang buku rapor. “Gimana?” tanyanya lagi membuatku terkejut dari lamunan. Gimana dong, masalah sendiri juga sulit ditangani.
“Well, perasaan perempuanku bilang kalau kamu jangan menghindar,” kataku akhirnya. “Karena mereka sudah memilihmu, mengurusmu sampai ganteng gini.” Bas nyengir.
“Makasih, ya,” sahutnya. Hanya itu? Oke, dia mungkin sudah mengambil keputusan tanpa harus diutarakan.
“No problem.”
***
Dua puluh menit berlalu dan rapat belum selesai. Aku dan Bas masih duduk di depan kelas. Tiba-tiba dari ujung lorong ada yang meneriakan namaku.