Udara pagi di tempat antah berantah ini kelewat sejuk. Mom mengajakku untuk berpergian. Tentu saja aku tolak. Malas sekali harus berkeliaran, apalagi sampai bertemu banyak orang. Kehidupan pribadiku merasa akan terbongkar meski aku bukan selebritis.
Tapi ini akhir pekan. Akhir pekan yang selalu berakhir di kamar. Oh, ya, akhir pekan menuju libur panjang. Mom terus membujuk agar ikut jalan-jalan ke tempat wisata. Aku tidak mau. Sekali lagi, aku tidak butuh wisata. Aku hanya butuh kudapan dan Netflix.
“Mom, aku tidak mau,” keluhku lagi. Mom menyibakan selimutku dan aku tidak mengalihkan pandangan dari layar TV.
“Kamu nggak kangen apa sama akhir pekan di New York?” tanya Mom membuatku terkejut. Bagaimana bisa Mom membandingkan ini dengan New York. Apa Mom tidak tahu jika segala tentang kota itu membuatku merasa lemah. Dan ingin kembali. Ingin pulang.
“Mom, aku tidak suka bahas New York,” sahutku agak ketus. Kubungkus lagi tubuh dengan selimut, membenamkan wajah agar tidak telihat muram. Sekarang Mom duduk di sampingku lalu mengelus-ngelus rambutku. Oh tidak. Sentuhan Mom dan New York. Kenapa ini membuat hatiku sakit. Dan sialnya Netflix sedang memamerkan Brooklyn Bridge.
Film sudah selesai. Aku bingung mau melakukan apa. Tidur lagi hanya akan membuat kepala pusing. Membuka ponsel bukan solusi. Terlebih aku harus menghindari e-mail dari teman-temanku di NY.
Aku tetap berbaring di ranjang. Masih pukul sepuluh, belum setengah hari. Mom datang lagi, kali ini dengan wajah yang berseri. “Piknik yuk!” serunya. Aku menghela napas.
“Mom, aku sudah bilang, aku tidak mau berpergian,” kataku memohon pengertiannya. Mom tidak merespons. Tangannya langsung meraihku dan menuntunku yang masih pakai baju tidur. Aku ingin sekali melepaskan genggamannya, tapi rasanya aku akan mendapatkan omelan. Jadi mau tidak mau aku terus berjalan mengikuti Mom.
“Piknik!” seru Mom ketika kami sudah sampai di halaman belakang. Di atas rumput hijau aku melihat karpet terbentang lumayan luas. Di atasnya juga ada banyak makanan dan minuman. Itulah ibuku, selalu ada plan B.
Kali ini aku setuju dengan gagasannya. Aku berlari dan langsung duduk di atas karpet. Matahari bervitamin menghangatkan tubuhku. Ah, mungkin aku selalu muram itu karena kurang berjemur. Mom ikut duduk dan menyiapkan roti lapis. Alunan musik pop barat terdengar dari ponsel Mas Jo yang sedang berjalan menghampiri kami, kepalanya dililit oleh perban putih. Kejadiannya kemarin, kata Mom, kepala Mas Jo terbentur meja komputer. Aku buru-buru mengangguk agar Mom tidak menjelaskan lebih detail soal lukanya Mas Jo. Di belakang kakakku ada juga Dad. Wow. Piknik keluarga.
“Rambutmu bagus sekali, Kim,” kata Dad. Aku tersenyum. Yah, aku sengaja memotong rambut sampai di atas bahu, rasanya segar sekali. Tadinya, warna pirang rambutku juga akan diganti oleh warna hitam, tapi aku tidak mau karena itu akan sama dengan Mas Jo.
Dad pernah mengeluh karena wajah kedua anaknya. “Kalian ini seperti bukan anakku,” keluhnya saat kami berkumpul di ruang keluarga, di New York tentu saja. Aku dan Mas Jo tertawa. “Yah, bagaimana bisa wajah kalian mirip sekali ibumu, cuma rambut Jo saja yang mirip dad,” lanjutnya semakin membuat kami tertawa. Tapi itulah kenyataannya, wajah aku dan Mas Jo bule sekali.
“Jangan sedih, Dad. Wajahmu juga bule. Tapi sedikit,” kata Mas Jo diiringi tawa.
Sambil bersila aku mengambil satu roti lapis. Memakannya perlahan. Dad terlihat menikmati kopinya dan sedang membahas wisata alam yang di respons baik oleh Mom. Mas Jo memakan sosis sambil menghentak-hentakan kakinya mengikuti irama lagu. Sekarang lagu Radioactive-nya Imagine Dragons. Kurasa cuaca dan suasana begini cocoknya gendre country. Atau akustik mungkin.
Aku masih diam. Selama ini belum membuka atau merespons percakapan. Begitu juga dengan Mas Jo, dia sibuk dengan musik-musiknya. Mom membahas kalau kami harus memasukan berwisata ke dalam daftar yang harus dilakukan. Aku mengerti sekali jika Mom penat. Apalagi dia membutuhkan itu untuk bahan-bahan artikelnya. Dad juga tampak antusias. Sementara Mas Jo masih sibuk dengan musiknya.
“Kim, kamu setuju, kan?” tanya Dad. Mom menatapku seolah memohon.
“Akan kumasukan ke daftar,” jawabku membuat Mom tersenyum.
Suasana kembali hening. Ini sangat canggung. Aku seperti sedang berhadapan dengan orang asing. Sejak pindah, aku memang menjadi pendiam dan menutup diri. Jangan heran kalau aku dulunya tipe manusia yang tidak bisa diam.