Karena mimpi itu, aku kehilangan Mas Jo. Yah, mungkin aku keliru kenapa menyalahkan mimpinya. Namun, semenjak kejadian itu, dia terus meraung meneriakan mimpinya, bukan pelakunya. Well, meski itu lebih baik daripada meneriakan si biadab yang sudah di dalam sel penjara yang jauh di belahan dunia sana. Kadang hal seperti ini membuatku bersyukur bisa tinggal sangat jauh dari penjahat itu.
Aku bangun di kasur Mas Jo. Mom dan Dad tidak ada. Sedangkan Mas Jo masih terlelap. Kulihat wajahnya secara terperinci. Rambutnya hitam agak ikal, alisnya tebal seperti ulat, bulu matanya agak lentik dan panjang, hidungnya mancung, rahangnya kuat dan di lehernya ada satu tahi lalat. Kurus... pucat... seperti mayat hidup.
Dan pagi ini, aku merasa rindu. Merindukan New York dan Jonathan Lamuel Cakrawangsa. Rindu ketika kami merayakan tahun baru di Times Square. Saat itu Mas Jo meledekku habis-habisan karena wajahku pucat tepat saat pergantian tahun. Karena, melihat semua pasangan yang ada di Times Square saling mengecup.
“Oh my God... your face,” katanya lalu tertawa. Aku memukul bahunya lalu menyeludupkan kepala di dadanya. Musim dingin kala itu, bersama kembang api yang meletup-letup di udara. Bersama aku yang pucat dan Mas Jo yang merasa menang. Sebenarnya aku merasa senang bisa memeluk Mas Jo pada malam tahun baru itu. Karena, pada malam itu aku sangat bangga dan bersyukur memiliki seorang kakak seperti Mas Jo. Jika aku bukan adiknya, aku akan naksir berat dan akan berusaha untuk menjadi pacarnya.
Aduh! Kenapa kenangan indah malah jadi menyakitkan sih?
Pelan-pelan aku turun dari ranjang, keluar kamar lalu menuruni tangga. Sayup-sayup terdengar obrolan Mom dan dr. Endah. Ini menarik, mari kita mendengarkan dengan seksama sambil duduk di tangga.
“Begini, Nyonya, selama saya memperhatikan, Jo sudah berusaha melawan semuanya,” kata dr. Endah sangat jelas. “Bahkan dia sudah berusaha lagi merakit mimpinya,” Merakit mimpinya, well, um, aku ingin terbahak. “Nyonya, menekan kibor apalagi sampai masuk lagi ke dunia impiannya sudah berhasil membuat Jo terluka,” tambah dokter itu penuh hati-hati, sementara hatiku merasa tersengat.
“But, aku melihat dia riang dengan mimpi-mimpinya itu, Dok,” balas Mom pasti dengan ekspresi seriusnya. Kedua alisnya bertaut dan matanya fokus ke dr. Endah. Aku tidak perlu repot membayangkan wajah ibuku kalau sedang serius. Karena aku sering melihatnya saat Mom sedang di depan komputer.
“Jo ingin terlihat baik-baik saja. Jo melakukan itu untuk kalian, meski ternyata dia sebenarnya sedang berusaha melawan rasa takutnya. Jo pura-pura,” timpal dr. Endah. Napasku agak berat mendengar itu. “Terlebih dia ingin baik-baik saja di depan Kim.” Selain napas berat, sekarang giliran dadaku yang panas. Ini gejala sakit apa, ya?
Mari kita perjelas. Jo pura-pura melakukan semuanya hanya untuk terlihat baik-baik saja, terutama di depanku? Nampan sarapan itu, suara antusias Mas Jo ketika menawariku untuk melihat aplikasi buatannya. Matanya... oh sial, matanya ketakutan. Rahangnya menegang, tangannya gemetar, tidak, kurasa tubuhnya gemetar. Kejutan! Kenapa aku tidak sadar. Mas Jo membungkuk sibuk di atas kibor itu sedang ketakutan melawan traumanya, bukan sibuk merakit mimpinya. Dan dia pura-pura ketika diriku ada di depannya. Jelas... semuanya sudah jelas. Selama ini Jo hanya pura-pura tegar.
Menyadari hal itu, aku semakin yakin jika setiap manusia memang memiliki caranya masing-masing untuk bisa bertahan hidup. Iya, nggak sih?
Aku tidak sanggup mendengar lagi percakapan mereka meski ingin. Satu fakta saja sudah cukup membuatku terluka. Aku tidak mau mendengar yang lain soal traumanya Mas Jo.
Sekarang juga aku berlari ke kamarku, menutup pintu dan menguncinya. Ranjang empuk adalah sasaranku untuk membanting tubuh. Aku telungkup sambil membenamkan wajah ke bantal. Mendengar hal itu, ekspresi seperti apa yang Mom tunjukan di depan dr. Endah? Apa Mom melotot kaget, apa bibirnya berkedut dan dadanya sesak? Aku tidak bisa membayangkannya. Namun, Mom bisa membayangkanku ekspresi apa yang akan kutunjukan setelah medengar percakapan tadi. Ekspresiku tentu saja akan menangis, seperti sekarang ini.
***
“Sayang, bangun, Nak. Kamu melewatkan sarapan,” bisik Mom sambil mengelus-elus rambutku. Jendela kaca sudah tertutup gorden, apa ini sudah malam? Yep, kepalaku pusing dan perut juga lapar karena kebanyakan tidur. Lho, sebentar, bukannya aku sudah mengunci pintu, ya?