Tiga hari lagi kembali ke sekolah. Ini mengerikan. Setelah liburan di Ranca Upas selama tiga malam, aku mulai berdamai dengan rumah. Mas Jo masih diterapi, tapi aku tidak merasa keberatan lagi. Mom selalu ceria seperti biasa. Sebenarnya, Mom lebih ceria karena sudah liburan. Lalu Dad, dia memiliki hobi baru, berkebun. Ubi, singkong dan jagung mungkin sudah menginspirasinya.
Dua hari sebelumnya, keadaan rumah sangat genting. Mas Jo kembali histeris ditambah juga dengan kejang-kejang. Dokter Endah datang pukul sepuluh malam dengan balutan baju tidur dan rambut yang acak-acakan. Aku tidak bisa membayangkan reaksinya betapa dia juga terkejut mendengat pasiennya kesakitan.
Sekarang Mas Jo sudah bisa tertidur nyenyak. Dan dengan begitu, keadaan rumah secara otomatis normal lagi.
Aku duduk di tepi jendela. Menerawang hutan dan segala pemikiran sedang berlalu lintas dengan ramai. Aku tidak tahu apa yang ingin kulakukan. Semua hanya peristiwa masa lalu, bukan harapan.
Lalu seperti biasa, tanpa permisi New York datang. Mengingatkan kejadian ketika Mas Jo marah karena aku tidak bisa menyimpul tali sepatu.
“Kim, buang sepatuku itu dan belilah sepatu tanpa tali!” bentaknya. Aku hanya menunduk dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Tidak, Mas. Aku mau sepatu ini,” rengekku, “ini sepatu kesayanganmu, jadi aku ingin memilikinya,” sahutku hampir menangis di trotoar. Mas Jo terdiam sambil berkacak pinggang, kepalanya menggeleng lalu berlutut untuk menyimpulkan tali sepatuku.
“Oke, ini milikmu, jangan menangis.”
“Thanks, Mas. I love you,” kataku sambil merangkul lengannya.
“Udah deh, jangan sok imut gitu, Kimmy.”
“Dih, aku tidak sok imut, Mas... aku memang imut,” protesku sambil memasang wajah imut. Dia hanya memutarkan bola mata dan kami terus berjalan menuju gedung teater.
Semarah-marahnya Mas Jo gara-gara sepatu, dia tetap mengalah kalau aku sudah merengek. Katanya, dia tidak ingin melihat adiknya terluka. Yeah, mungkin setiap kakak juga begitu. Dan aku sangat bersyukur punya kakak seperti itu.
***
Siang ini aku akan menemani Bas mengantar paket lagi. Bukan untuk menjahili penerima paket, tetapi aku benar-benar bosan berada di rumah. Setelah pamit kepada Mom, aku menunggu Bas di pos satpam rumah ini. Fakta menarik, seorang Kim sudah bisa keluyuran tanpa merasa minder lagi. Sebentar... apa selama ini aku minder? Ya pokoknya aku mulai percaya diri menjadi bule yang tinggal di kota kecil ini.
Rute pengiriman paket masih sama seperti waktu itu. Sekarang kami akan mengirim paket di wilayah Jalan Prabu Geusan Ulun. Ini pusat kota, jadi kepercayaan diriku agak menciut. Dan syukurnya helm bisa melindungiku. Mana? Katanya sudah mulai percaya diri.
“Ada lima paket buat empat rumah, daripada bulak-balik, gue aja yang turun di sini. Lo tunggu, ya,” suruh Bas. Aku mengangguk. Sambil menunggu, sayup-sayup suara sirine ambulan terdengar. Dari kejauhan saja sudah mengerikan, apalagi dari dekat.