Aku menepuk-nepuk tangan sambil duduk santai di ruang kelas. Suasana sekolah masih sepi. Tentu saja, karena aku datang ke sini pukul enam pagi. Mengalahkan si Azla. Harusnya Azla kasih aku piala penghargaan. Atau ada tim dari The Guinness Book of Records datang menemuiku untuk memberi piagam penghargaan. Tentu saja karena rekor Azla sudah dipecahkan olehku.
Tidak lama kemudian, teman sekelas mulai datang.
“Pagi, Kim. Tumben datang kepagian,” kata Mayang. Dia adalah tipe murid rajin di sini dan selalu melibatkan Azla sebagai topik pembicaraan. Katanya, dia ingin seperti Azla yang selalu menginspirasi. Azla memang sosok populer di sekolah. Dan aku tidak pernah mendengar alasan yang masuk akal kenapa dia selalu digemari adik-adik kelas. Catat, aku tidak termasuk.
“Ada tugas pagi,” sahutku sekenanya. Kulihat Mayang duduk di kursinya dengan lunglai. Wajahnya tertekuk seolah sedang memikirkan masalah.
“Kenapa?” Kenapa aku tiba-tiba punya rasa simpati.
“Tadi di mading sama di tembok-tembok kelas ada poster gitu,” kata Mayang sendu. “Kasihan Teh Azla, dia gagal mewujudkan mimpinya. Tapi kok ada orang yang segitunya, ya? Teh Azla pasti makin sedih lihat poster-poster itu,” lanjutnya dengan suara yang parau.
Aku tidak merespons Mayang karena dia langsung berlari entah ke mana. Suasana kelas semakin ramai. Ada yang piket, membaca buku, memainkan ponsel, mengobrol, menyanyi sambil diiringi gitar, dan macam-macam. Bas datang langsung mengajakku ke atap.
“Jam kosong lagi,” bisiknya.
“Darimana kamu tahu?”
“Tadi kata si Umar,” jawab Bas. Umar adalah ketua kelas.
Pada akhirnya, aku dan Bas pergi ke atap. Di lorong, aku melihat gerombolan murid sedang membicarakan sesuatu. Entah apa karena suaranya tidak jelas terdengar.
“Settt dah, rame banget di depan mading. Ada apa sih, jadi kepo,” ucap Bas sambil kepalanya celingak-celinguk melihat kerumunan.
“Apaan sih, males ah. Mending langsung ke atap,” ajakku seraya merangkul lengan Bas.
Benar kata Bas, semua kelas tidak ada KBM. Jam kosong. Dari atap terdengar gemuruh murid. Beberapa murid cowok juga terlihat sedang bermain bola di lapangan. Pemandangan yang menarik samar-samar terlihat di sepanjang koridor dekat mading. Murid cewek sedang berkumpul di sana. Aku lihat ada kelas 10, 11 bahkan 12. Memang tidak semua murid berkumpul di sana, tapi pemandangan itu membuatku tersenyum bangga.