Sudah tiga hari aku bolos sekolah. Alasanku sebenarnya karena malas, tapi Mom sedang khawatir karena sejak maraton film, aku muntah-muntah dan panas dingin. Jadi, bukan bolos dong kalau begitu. Cuti sakit.
Selama tiga hari di rumah, Mom selalu siap sedia jika aku membutuhkan apa pun. Bahkan, saat aku mau pipis, Mom membopongku ke toilet. Yeah, sakitku bisa dibilang cukup merepotkan sih, gara-gara tubuhku lemah, jadi begitulah, bisanya hanya berbaring di ranjang. Apa selama aku sekolah, Mom selalu menemani Mas Jo seperti ini juga? Siap siaga seperti suster tanpa ada shift kerja.
“Bas tidak menjengukmu, Sayang?” tanya Mom sambil mengelus pucak kepalaku. Dad juga ikut-ikutan mengelus, seolah aku ini adalah kucing peliharaan.
“Emh... nope. Dia tidak tahu aku sakit,” jawabku jujur. “Dan jangan sampai dia tahu,” sambungku.
“Why?”
“You know, aku tidak suka merepotkan orang,” sahutku sekenanya. Apa iya kalau Bas tahu aku sakit, dia akan merasa direpotkan atau bahkan merasa khawatir? Aku sama sekali tidak tahu, tidak juga mengharapkan perhatian dari orang lain.
Selain tubuhku dibungkus selimut, suasana di kamarku juga ikut-ikutan diselimuti keheningan. Aku jadi penasaran, apa yang sedang orangtuaku pikirkan. Dad mungkin sedang berekspektasi dengan rumah kacanya. Lalu Mom... tidak bisa. Aku tidak bisa membayangkan perasaan ibuku saat ini. Namun, sedari tadi Mom menatap terus bingkai foto yang sengaja aku simpan di dekat TV.
“Apa Mom rindu Mas Jo?” tanyaku.
“Tentu saja, Sayang. Mom dan Dad selalu merindukannya,” sahut Mom dengan suara yang parau. Duh, kenapa akhir-akhir ini perasaanku mudah sedih. Sikap masa bodohku hilang sejak kejadian di atap. Semuanya sensitif, apalagi soal Mas Jo.
Dad mengecup puncak kepalaku. Dengan begitu, tebakanku salah. Ternyata dia juga sedang memikirkan Mas Jo. Yep, Dad juga bukan sedang menonton TV, melainkan menatap terus bingkai foto.
Aku masih bisa merasakan dinginnya salju di halaman belakang rumah. Merasakan pedihnya hantaman bola salju di wajahku yang dilempar oleh Mas Jo. Dan merasakan juga suara tawa Mas Jo yang nyaring di telingaku. Cekrek! Mom diam-diam mengabadikan momen ini. Potret yang bagus meski wajahku sedang merem dan mangap secara mengkhawatirkan. Berbeda dengan Mas Jo, pose dia candid sempurna. Mulutnya tertawa lebar sambil kedua tangannya menunjuk ke arahku. Sial! Aku rindu musim salju. Rindu juga baju tebal, sarung tangan, kupluk, syal, sepatu bot dan Mas Jo.
“Aku juga merindukannya,” lirihku lalu menghela napas dan mengubah posisi tidur menghadap Mom. Kupeluk Mom dan kembali tidur. Besok sembuh. Harus!
***
Hari kelima aku cuti sakit. Biar kuberi tahu kalau sebenarnya aku sudah sembuh total. Hanya saja, ada akting sedikit agar supaya aku tidak bertemu dengan Bas. Apalagi Azla. Aku benar-benar tidak mau bertemu mereka. Karena, mereka bisa meruntuhkan benteng pertahanan anti impianku. Dan aku juga masih sebal kepada mereka.