Senin pagi, aku sudah siap berangkat ke sekolah. Sekarang bersama Mom lagi. Seperti biasa, di dalam mobil, Mom selalu memberiku nasihat atau menceritakan kisah lucu, informasi baru dunia hiburan atau kabar berita terpopuler. Baik, ibuku sudah seperti Google. Aku tanya apa saja, dia selalu menjawab.
Ketika aku turun dari mobil, aku merasakan suasana seperti saat pertama kali datang ke sekolah. Dingin, deg-degan dan agak menyeramkan. Namun, di depan gerbang tidak lagi ada dua manusia yang selalu mencari kesalahan setiap murid. Baguslah, karena jika ada, mereka hanya merusak suasana hatiku.
Aku menunduk menuju kelas.
“Kim, sudah sembuh kamu teh?” tanya Iceu Juiceu. Ini agak lucu sih. Mengingat saat pertama kali Iceu mengajak berkenalan, aku sudah membuatnya terlihat jengkel.
“Nama kamu Ice Juice? (aku mengatakannya dengan; es jus) Lucu sekali,” kataku ketika membaca papan namanya. Huruf ‘U’ sengaja kuhilangkan agar bisa membuat lelucon.
“Ih bukan atuh. Namaku itu Iceu Juiceu. I... ceuu. Juwiceuu, bukan es jus,” sahutnya sambil manyun. Hampir seisi kelas yang menyimak mengeluarkan tawa yang membuat bibir Iceu semakin manyun dan pipinya merah padam.
Begitulah kisahnya. Sejak saat itu juga Iceu panggilannya menjadi bahan olok-olokan. Nggak aneh.
“Yeah, aku sudah membaik,” sahutku langsung duduk di kursi kosong yang selama ini menemani Iceu. “Iceu, boleh aku duduk di sini?” tanyaku. Bas masuk kelas dan langsung diam menatapku. Hanya diam.
“Boleh... boleh pisan atuh.” Persetujuan Iceu membuatku tersenyum.
Semua teman sekelas sudah datang. Mereka menyapa dan menanyakan keadaanku. Ya... mereka menayakan keadaanku. Kecuali Bas. Cowok itu mendadak sedingin kepalan bola salju.
“Pengumuman kepada seluruh murid kelas 10 dan 11 untuk segera berkumpul di lapangan. Sekali lagi, kepada seluruh murid kelas 10 dan 11 untuk segera berkumpul di lapangan. Terima kasih.”
Upacara bendera akan segera dimulai. Kenapa yang disebutkan hanya kelas 10 dan 11 saja. Memangnya ke mana kelas 12? Diliburkan?
Aku dan Iceu berjalan menuju lapangan. Tali sepatuku yang sudah Mom talikan terlepas. Aku diam saja dan menunduk memperhatikan si Chuck Taylor itu. Di sepanjang koridor menuju lapangan, aku merasakan Bas ada di belakangku. Benar saja, terlihat dari ekor mataku, dia memang ada di belakang. Sama seperti di kelas, dia hanya diam. Apa dia lupa kalau mulut itu fungsinya untuk berbicara. Tunggu, untuk apa aku mengharapkan ucapannya. Aku tidak rindu suaranya kok. Tidak!