Setelah sampai di rumah, aku langsung naik ke kamarku. Duduk di sofa dan menatap kardus besar yang sengaja kusimpan di depan lemari TV. Jam dinding berdetak-detak, setiap detaknya membuang waktuku yang hanya diam dan bernapas. Perhatianku berpaling ke meja belajar, di sana ada kalender. Kedua benda itu menyadarkan bahwa aku juga punya waktu.
Mom datang tanpa mengetuk pintu. Aku menggembungkan pipi setelah Mom meminta maaf karena tidak mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Tidak apa-apa. Masuk saja Mom,” kataku membuatnya tersenyum. Ada dua es krim di tangannya.
“Nih,” Mom memberiku satu es krim, “baik untuk mood,” tambahnya yang kurespons dengan anggukan saja.
Aku dan Mom menikmati es krim sambil melihat hutan dan perbukitan. Di sini, aku memang mendapatkan ketenangan. Karena hutan adalah pahlawan super kehidupan. Dan, kurasa, hutan itu baik hati, tidak seperti gedung tinggi yang kelihatannya sombong.
“Mom, kenapa sih setiap orang harus punya mimpi?” tanyaku akhirnya. Kulihat kedua mata biru Mom membesar dan senyumnya mengembang dibarengi helaan napas yang berat.
“Tujuan hidup, Sayang. Karena mimpi bisa memotivasimu, memberikan semangat hidup dan juga tidak membuat hidup jadi monoton,” jawab Mom.
“Apa hidup tanpa mimpi itu membosankan, Mom?”
“Mom suka musik. Dan apa jadinya kalau dunia ini tidak ada musik. Hening, bahkan mungkin mengerikan. Hidup tanpa mimpi juga begitu, Sweetheart. Hati menjadi hening, dan tentu saja, membosankan.”
“Kenapa orang-orang pemimpi suka berkhayal seolah lupa akan realita?”