Beberapa minggu kemudian. Sekolah sedang merayakan hari perpisahan kelas 12. Perpisahan kok di rayakan, ya. Mungkin agar supaya tidak terlalu menyedihkan.
Untuk pertama kalinya, aku dan Bas berpartisipasi dalam acara sekolah. Kami menjadi fotografer. Maksudnya, Bas lebih menjadi asistenku sih. Dia sibuk mengatur pose dan memantaskan apa saja yang harus dipakai sebagai properti foto.
Banyak juga dari kakak kelas mengajakku foto. Sebagai kenangan kalau mereka pernah punya junior bule. Aku tidak keberatan. Omong-omong, akun Instagram, Twitter bahkan Facebook yang jarang sekali kubuka banyak pengikutnya. Ada juga yang menandai foto bersamaku. Tidak masalah.
Sekarang giliran kelas Azla yang di foto. Aku bisa melihat dia dengan wajah yang dipolesi oleh riasan pas. Azla memakai kebaya ruffle warna moka yang senada dengan jilbabnya. Sebagai bawahan, dia memakai rok batik bercorak indah.
“Kau tidak ingin foto bersamaku?” tanyaku membuat Azla melotot.
“Sejak kapan bule ini narsis?” katanya malah bertanya.
“Sejak aku memegang benda ini,” jawabku sambil mengangkat kamera. “Bas! Tolong dong fotoin aku bareng Mbak Azla,” teriakku membuat Bas langsung datang menghampiri.
“Kim, apa kamu sehat?” tanya Azla. Aku menghiraukan pertanyaan itu dan langsung merangkul pundak Azla untuk berpose.
“Setelah acara selesai, aku ingin berbicara empat mata denganmu di perpustakaan.”
“Kenapa harus empat mata?”
“Di perpustkaan. Setelah selesai acara. Ingat ya.” Aku meninggalkan Azla dan kembali memotret yang lainnya.
Aku duduk di sofa hijau yang pernah diduduki saat Azla menghukumku. Sambil memegang tas karton besar, aku menunggu Azla. Memang sih acara belum selesai, dan dentuman musik dangdut masih terdengar menggelegar.
“Ada apa?” tanya Azla membuyarkan segala lamunan. Berbeda dari biasanya, dia terlihat tidak bersemangat. Pundaknya tidak tegap dan langkahnya lambat.
“Masih punya stok mimpi, kan?” tanyaku sambil menunjuk sofa agar dia duduk.
“Peduli apa kamu?” tanyanya sewot. Kenapa dari tadi Azla banyak tanya sih.
“Kamu harus membangun lagi puing-puing mimpi,” kataku sok puitis.
“Ini kamu kesambet apa sih. Ngomongin mimpi pake puing-puing segala,” sahutnya ketus. “Lagian tuh ya, berita untukmu kalau aku udah tahu rasanya jadi kamu, Kim. Rasanya hidup membosankan tanpa mimpi. Dan sampai sekarang, aku justru nyaman di zona itu.” Wah, kok jadi gini sih.
“Jangan, Az. Jangan jadi diriku yang dulu.”