Imagine

it's her.
Chapter #2

Travel 2 - Cerpen Manis

“Coba buka bukunya.”

           “Novel baru ya, mas?”

           “Bisa jadi.”

           “Ngga masalah kalau aku yang baca duluan?”

           “Kamu takut fans aku cemburu ya?”

           “Mas lupa? Aku termasuk satu di antara fans kamu loh.”

           Cover buku itu terhempas ke arah lain ketika jari-jari lentik gadis itu mulai bergerak dan melakukan aksinya.

           Ia menangkap senyuman gadis itu, senyuman yang mengisyaratkan bahwa ia tertarik dengan isinya. Baru lembar pertama, lembar berikutnya akan lebih menarik jika ia bisa menangkap senyuman lain dan mengoleksinya di dalam hati.

           Ia mengoreksi harapannya. Tidak lebih, tidak kurang.

           Setidaknya mencoba bukanlah dosa.

 

***

“Isinya bagus.”

Dua kata yang terasa lebih manis dari dua balok gula di dalam cangkir kopiku. Lebih cantik daripada matahari yang terbenam. Dan lebih berarti dari semua aktivitas yang aku lakukan saat itu.

Dua kata pertama yang gadis itu ucapkan saat ia membaca tulisan pertamaku di bangku SMA.

Manis. Benar, gadis itu manis. Dan aku masih sepenuhnya waras sebelum mencari definisi dari kata “manis”.

Manis. Manis adalah satu di antara lima sifat rasa dan hampir secara universal dianggap sebagai pengalaman yang menyenangkan. Makanan yang kaya karbohidrat sederhana seperti gula adalah yang paling umum dihubungkan dengan rasa manis, walaupun ada beberapa senyawa alami dan buatan yang lebih manis, yang beberapa di antaranya telah digunakan sebagai pengganti gula. Senyawa lain dapat mengubah persepsi rasa manis itu sendiri.

Itu definisi “manis” yang bersumber dari internet, belum cukup manis untukku. Definisinya masih terkesan kaku dan hanya definisi belaka. Apa aku harus mulai mendefinisikan kata manis dengan caraku sendiri?

Cukup dengan manis, aku memiliki satu kalimat yang sebelumnya tidak pernah aku rangkai untuk diriku sendiri.

Bagaimana cara menggambarkannya?

Hanya satu. Hanya satu kalimat itu yang pantas untuk kuucapkan saat ini.

Aku jatuh cinta.

Aku rela untuk tidak menggombal di hadapan kedua orangtuaku tentang membelikan sebuah rumah baru setelah penerbitan bukuku yang selanjutnya laris manis di pasar sastra. Aku rela untuk tidak tidur dan mengabaikan kegiatan menulis sepanjang malam dengan goresan-goresan tangan kiriku di atas beberapa lembar kertas putih. Aku rela untuk menunda makan siangku agar aku tidak melewati saat-saat termanis ketika malaikat itu tersenyum.

Semuanya terabaikan dan fokusku hanya pada gadis itu.

Dia malaikat. Lebih indah dari malaikat.

Lihat selengkapnya