Imagine

it's her.
Chapter #3

Travel 3 - Pria Plastik

"Totalnya 250 ribu, pak."

Mesin penghitung di hadapanku tetap setia dengan 6 angkanya, aku menunggu pria separuh baya membayar tagihannya.

"Terima kasih, pak," ucapku ramah setelah pria berkumis tebal itu melangsingkan lemak dompetnya. Akan lebih baik jika lemakku yang berkurang.

Aku menatap ke permukaan jam tangan Doraemon di pergelangan tanganku. Jarum pendeknya belum menunjukkan pukulan di angka tujuh. Satu jam lagi. Aku hanya butuh satu jam, enam puluh menit yang akan menggandengku erat mulai saat ini.

"Udah hampir jam tujuh tuh. Lo pasti nungguin Plastic Man, kan?" tanya rekan kerjaku yang entah darimana muncul dan menghancurkan lamunanku.

Aku hanya tersenyum setelah hampir tertelan dengan keterkejutanku. "Plastic Man gue pasti lagi sibuk," jawabku tanpa menghiraukan ekspresi Cintya. Keyakinanku semakin menjadi, hari ini aku dapat melihatnya lebih dekat. "Gue ngga bakal diam aja kali ini."

"Gue harap tuh cowok ngga bakal lupa sama plastiknya lagi."

"Ngga bakal. Kalaupun bakal kejadian lagi, gue yang bakal bungkusin maksa."

Kami tertawa seiring berjalannya percakapan yang terdengar tabuh dan konyol ini.

           Hingga pintu masuk Alfamart terbuka, aku tidak menyadarinya. Dan sosok itu pun muncul bersamaan dengan angin yang menerpa kulitku yang tak tertutup.

           Plastic Man kembali!

           Tapi ini masih awal, bukan?

           Seperti biasa, sosok itu hanya berkeliling sebentar. Tapi aku mencoba membaca apa yang ia suka melalui tindakannya.

Terkadang aku mengira dia akan menggapai pop mie goreng, tapi nyatanya dia mengambil yang kuah. Antara Sprite dan Coca Cola, ia akan mengambil Sprite. Es krim coklat dan stroberi, dia lebih memilih vanila.

Mengapa aku melakukannya? Mengapa aku menerka-nerka?

Karena aku tertarik pada pria itu.

Awalnya aku hanya menganilis tubuhnya. Tinggi sekitar seratus delapan puluh sentimeter, bahu berotot, mata sipit, dan terdapat tahi lalat mungil di bawah mata kirinya. Tapi aku tidak bisa melihat bentuk bibirnya. Karena ia selalu mengenakan masker.

“Ken, dia mau bayar tuh.” Tanpa sadar, aku mengangguk dengan ayunan yang terlihat bodoh.

Aku menangkap dua bungkus Chitato dan sekaleng Coca Cola di atas meja kasir.

“Biasanya Sprite, mas. Udah pindah hati ke Coca Cola ya?” tanyaku tanpa malu-malu. Ia hanya berdeham dan langsung membayar tagihannya sebelum aku mengatakan jumlahnya.

Lagi-lagi, ia lupa membawa plastik! Dan seratus ribu?

Jika pada malam hari ini kami bertatap muka di luar Alfamart, aku akan menjadikan uang ini sebagai alasan!

Kali ini aku tidak ingin kehilangan jejak pria dewasa itu lagi. Aku harus mengejarnya untuk mendapatkan nomor teleponnya, oh-tidak! Wajahnya lebih penting! Dan aku bahkan belum tahu namanya.

Kutitipkan semua tugasku pada Cintya, mau tidak mau dia menerima. Aku merasa seakan diriku yang berperan sebagai bos di sini. Haha.

Aku mengikuti pria itu berjalan keluar dari Alfamart, tempatku bersarang di malam hari. Jauh, cukup jauh untuk membuatnya tak menyadari keberadaanku yang tengah mengekorinya dan didukung dengan tubuh mungilku ini.

Dan dia berhenti di sana!

Kusembunyikan tubuh mungilku di balik pohon yang rindang dan menyaksikan dirinya merobek bungkusan camilannya di bangku taman.

Akhirnya saat yang kunantikan datang. Aku akan segera melihat wajahnya, yang kuyakini menawan rupanya.

Tiba-tiba aku mendengar suara gonggongan dari bawah bangku, tempat pria itu duduk. Dan tidak salah lagi, keluar seekor anjing yang kuyakini merupakan salah satu anak anjing Husky. Bulunya lebat seperti kapas dan warnanya, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Karena cukup gelap di area sini. Mungkinkah coklat?

Menakjubkan!

Lihat selengkapnya