Imagine

it's her.
Chapter #4

Travel 4 - Mengandalkan Bulan (Bagian I)

Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Tapi dua manusia itu tak juga beranjak dari sana, rumah pohon yang memiliki ruang yang cukup luas untuk empat orang tempati.

           “Gotcha!”

           “Argh…!”

           Seorang gadis dengan rambut yang terkuncir ke atas mengerang geram, tidak rela menerima kekalahannya. Lawan mainnya menggeram senang, mengetahui raut wajah gadis itu menjadi kusut. Gadis itu menatapnya dengan tatapan sinis. Detik kemudian ia mendesah pasrah, mulai menyuarakan kekalahannya. Dan melarikan pandangannya dari papan monopoli yang berada di hadapan mereka.

           “Oke, gue kalah. So what do you want now?”

           ”Now?”

           “Yeah, now.”

           “Kalau gua minta ayam goreng, emang jam segini ada restoran yang buka?”

           Gadis itu menghela nafas panjang, kembali menatap pria itu dengan tatapan mengancam. Tatapan yang menunjukkan ia tidak ingin mengabulkan permintaannya.

           Menyadari keberatan di matanya, pria itu tertawa geli, “Oke, yang lain.”

           “Juni, lo tuh ya.. Gue serius,” teriak gadis itu tak tahan.

           “Iya, April sayang.”

           Raut wajah itu berubah ketika pria itu menyuarakan namanya, lalu tersenyum datar.

           “Pril.”

           “Apa?”

           “Gue sayang sama lo.”

           Ungkapan itu? Bukannya biasanya memang seperti ini? Tapi kenapa detak jantung gadis itu mengamuk tidak karuan saat ini?

           “Iya, gue tahu.” Gadis itu mencoba bersikap seperti biasa, tidak ingin pria itu menyadari kegugupannya.

           Detik kemudian pria itu menariknya ke dalam dekapannya, mengecup puncak kepalanya dengan sayang sebelum melepaskan pelukannya. Ditatapnya mata itu dengan lekat, berharap lawan bicaranya juga ikut melihat perasaannya yang tersirat di matanya.

           “Makasih udah mau jadi sahabat gue selama ini, Pril.”

           “Makasih udah mau jadi sahabat terbaik gue selama gue hidup, Jun.”

           “Makasih udah ngizinin gue bikin lo tersenyum.”

           “Makasih udah nganggep gue sebagai adik lo.”

           “Makasih udah ngewarnai hidup gue dengan kekonyolan lo.”

           “Makasih udah mau nerima gue apa adanya, Jun.”

           “Wait..”

           “What?”

           “Makasih-nya banyak banget.”

           Kedua anak manusia itu tertawa renyah, menyadari kekonyolan mereka. Mereka sudah mengenal satu sama lain dengan baik, tak heran lagi dengan semua yang mereka lontarkan beberapa detik yang lalu. Perayaan ini memang diperlukan bagi mereka. Berterima kasih satu sama lain setelah satu bulan berlalu. Memang tidak masuk akal, tadi begitulah mereka.

           “Oke, berhubung lo yang menang lagi kayak bulan lalu..” gadis itu belum sempat menyelesaikan ucapannya, dehaman pria itu memecah kepercayaan dirinya untuk mengaku kalah. Gadis yang bernama April itu tersenyum pasrah diikuti dengan pipi tomatnya.

           Pria yang memiliki nama Juni itu tersenyum menang, kemudian mengacak poni gadis itu dengan gemas.

           “Ngga perlu hadiah gede-gede, Pril.” Juni mengedipkan sebelah matanya, membuat April kembali terguncang dengan kegugupannya. Dan gadis itu sudah bisa menebak apa yang diinginkan sahabatnya ini.

           Juni menghela nafas dan menunduk malu. Gadis itu yang melihat tingkah aneh Juni langsung menyadarinya.

           “Mau putus lagi?” raut wajahnya berubah, kali ini dia mulai serius.

           “Yup.”

           Satu kata itu “YUP”, mendorong April untuk menghantam pria itu dengan boneka teddy bear raksasa yang sedari tadi duduk di dekat mereka. Pria itu meringis kesakitan yang terdengar dibuat-buat ketika gadis itu meluncurkan hantamannya.

           “Lo tuh ya, stop mainin hati cewek! Lo kira cewek tuh barang apa!” bentak gadis itu lantang, matanya menyiratkan kemarahannya.

           “Masalahnya..”

Lihat selengkapnya