Berkas-berkasnya berserakan di atas meja, sang pemilik kertas-kertas itu tak memperhatikan dan tetap fokus dengan laptopnya. Ia memeriksa semua dokumen di dalam laptop itu dengan serius, angin malam yang menyusup tanpa permisi dari jendela ruangannya juga tak mampu membangunkan dari keseriusannya.
Gadis itu menghela nafas panjang kemudian mengerang geram di ruangan yang setengah gelap itu. Ia lembur. Sebenarnya tidak ada pekerjaan yang harus ia selesaikan hingga jam sembilan malam saat ini, tapi ia ingin membuang perasaan itu. Tidak ingin memikirkan tindakan berani Juni tadi siang.
Pekerjaannya sebagai manajer keuangan memang sulit, tapi ia selalu mengerjakan semua tugasnya dengan tepat waktu. Jadi tidak ada alasan untuk lembur. Ruangan karyawan sudah tertutup dan kantornya sudah begitu gelap karena tidak ada penerangan. Hanya ruangannya saja yang terang.
Masih terbayang gerakan pelan yang manis itu di atas bibirnya, Juni begitu manis. Ia memang terkejut, tapi rangsangan yang lawan jenis berikan tidak pernah naïf. Ia menyukai bibir pria itu, sahabatnya.
Oh, tidak! Ini bukan saatnya untuk memuja ciuman terlarang siang tadi.
Ketukan kecil pada pintu di ruangan memecah lamunannya. Satpam dari perusahaan ini pasti yang mengetuk pintu.
“Ya, masuk.” Gadis itu mulai bersuara setelah sekian jam ia habiskan dengan berdiam diri di depan laptopnya.
Satpam itu masuk setelah mendapat izin darinya dan langsung berdiri di hadapannya, dengan ragu satpam itu mulai berucap, “Ibu belum pulang?”
“Sebentar lagi, Pak. Saya banyak kerjaan jadi harus lembur. Maaf mengganggu ya, pak.”
“Oh, ngga pa-pa, bu. Hati-hati pas pulang nanti ya, Bu. Saya permisi.” Gadis itu mengangguk dan menatap punggung yang meninggalkan ruangannya setelah mengutarakan perhatian umum.
Dengan segera, April merapikan berkas-berkas di atas mejanya dan meletakkannya kembali di tempat semula. Lalu diambilnya tasnya dan beranjak dari tempat duduk, kemudian mematikan lampu ruangan itu dan berjalan keluar dari ruangan yang sudah kehilangan penerangan.
Ia berjalan dari kantornya menuju halte bus, tempat biasa dia menunggu bus yang akan membawanya ke area perumahannya. Tapi tiba-tiba sosok itu muncul di hadapannya, sosok yang membuatnya terpaksa pura-pura lembur.
“Baru selesai, Pril?” pertanyaan itu memecahkan keheningan di antara mereka setelah saling menatap cukup lama.
April hanya mengangguk tanpa berani bersuara dan menatapnya. Ia teringat dengan ciuman itu. Ia menggigit bibirnya dengan kecanggungan yang masih tersisa.
Juni yang menyadarinya, langsung terkekeh geli. April bahkan tidak marah kali ini. Biasanya dia akan mengomel dan meneriakkan namanya dengan lantang atau menendang kaki Juni saking kesalnya.
“Ikut aku.” Juni menangkap tangan mungil April dengan cepat dan meletakkannya di saku celananya, mulai melangkah ke arah mobilnya. Melindungi tangan mungil itu agar tidak tertampar angin malam yang berhembus dengan nakal.
“Kita mau kemana?” April menghentikan langkah Juni dan berusaha menarik tangannya dari genggaman sahabatnya, tapi Juni lebih kuat darinya dan malah mengeratkan genggamannya.
“Jangan banyak tanya. Sabar, oke?” tatapannya begitu mengancam dan membuat gadis itu menciut ketakutan.
Juni tidak pernah seperti ini sebelumnya. Melemparkan tatapannya dengan begitu serius, dan apa tadi? Aku? Kamu? Mereka tidak pernah begini sebelumnya. “Aku” dan “Kamu” itu mulai sejak siang tadi dan April baru menyadarinya. Apa “Lo” dan “Gue” akan mati setelah ini?
***
Setelah mampir di supermarket dekat kompleks perumahan April, mobil Juni melaju ke tempat persembuyian mereka, rumah pohon yang tidak jauh dari rumahnya. Gelap. Seperti biasa, tempat itu selalu gelap.
Kemudian mereka keluar dari mobil itu, dan berjalan dalam gelap. Juni memimpin jalan dan saat mereka tiba di depan pohon raksasa itu, tiba-tiba masuk cahaya di sekitar tubuh pohon dan rumah pohon di atasnya, membunuh kegelapan di sana. Lampu-lampu kecil di sekitar pohon kokoh itu berbentuk hati. Juga beberapa foto mereka. Dari foto Juni kecil dengan April yang masih bayi sampai foto-foto konyol mereka berdua di masa-masa sekolah terpampang jelas di tubuh pohon itu. Gadis itu hanya menatap ke sekelilingnya dengan bingung.
Juni yang tadi berjalan membelakangi April langsung membalikkan tubuhnya dan kembali mengunci gadis itu dalam tatapannya.
“Kamu suka?” tanyanya dengan suara serak.
Suaranya begitu menggoda telinga gadis itu. Tapi gadis itu memecah bayangan kotornya di dalam pikirannya dan mulai memberanikan diri untuk bersuara.
“Apa ini, Jun?” tanyanya balik tanpa menjawab pertanyaan Juni.
Juni tersenyum penuh arti, tanpa menjawab pertanyaan itu, dia menangkap tangan gadis itu lagi ke dalam genggamannya.
“Aku mau buat pengakuan hari ini juga.” Tatapan pria itu semakin serius, semakin mengunci gadis itu ke dalam pesonanya.
“Aku cinta sama kamu, April. Aku udah menyimpan perasaan ini bertahun-tahun. Sejak awal, aku cuma menginginkan kamu. Sebagai pengisi hariku, yang berlabuh di hatiku. Kamu mungkin ngga nyadar kan? Waktu itu aku masih terlalu munafik, belum dewasa. Belum ngerti apa artinya cinta. Saat-saat SMA membuat aku sadar, aku udah menyia-nyiakan kamu. Saat aku mau mengaku, kamu udah dimiliki sama orang itu. Aku udah nyoba untuk membunuh perasaan ini, Pril. Aku capek karena kamu ngga peka sama perasaan aku. Jadi aku mencoba mencari pelampiasan untuk penolakan yang tak pernah terwujud ini, Pril. Tapi mereka semua sama. Ngga ada wanita yang kayak kamu. Kamu itu bukan hanya sahabat di mataku, kamu itu wanita yang ingin aku miliki.”
Apa ini? Pengakuan? Hari ini? Ini baru hari kedua dalam bulan September! Apa perasaannya tersampaikan? Tidak! April tetap menatap lekat mata itu, dengan perasaan bahagia yang mencambuk dewi amornya di dalam sana. Ia masih berdiam diri, menunggu pengakuan lain dari pria yang ia cintai ini.
“Kok kamu diam aja?” raut wajahnya berubah menjadi ungkapan yang penuh dengan kekecewaan.
April belum berani menyuarakan perasaannya. Tapi dewi amornya sudah mengamuk di dalam hatinya. Mungkin memang lebih baik dia mengaku, pikirnya.
“Juni, aku juga cinta sama kamu. Orang yang selalu ngelindungin aku selama ini. Orang yang selalu rajin untuk melukis senyum di hariku. Dan orang yang menghapus air mataku saat aku terjatuh.” Tanpa diduga, pengakuan itu membuat Juni terperangah.
Gadis ini memiliki perasaan yang sama dengannya. Gadis ini bersedia menjadi miliknya. Oh, inilah yang sudah ia tunggu setelah sekian lama ia bersama gadis ini.
Dirangkulnya pinggang ramping milik gadis itu dengan protektif, membuat tubuh mereka dekat. Membuat mereka bisa merasakan detak jantung mereka masing-masing, pipi merona gadis itu membuat Juni semakin yakin, yakin bahwa gadis ini sangat mencintainya.
“Tapi aku ngga bisa.” Pernyataan itu memecahkan kebahagiaannya, jantungnya seakan berhenti berdetak ketika gadis yang ia kasihi berucap.
Juni menarik tubuhnya dari tubuh gadis itu, memberi sedikit jarak di antara mereka. Dia berusaha untuk menyembunyikan rasa terkejutnya dan menatap gadis itu lekat.
“Aku tahu. Ini terlalu cepat, kan? Ga pa-pa, Pril. Aku bakal kasi kamu waktu. Aku…”
“Bukan gitu, Jun!” sela April cepat.
Gadis itu takut. Hubungan special perlu perjuangan. Sikapnya dan sikap Juni tidak mungkin menyatu secepat kilat, pengertian juga terkadang sulit dibangun. Perbedaan usia mereka juga bisa menjadi penghalang. Hubungan 25 tahun tidak akan berarti lagi setelah kegagalan hubungan romantis yang mungkin hanya akan mereka jalankan selama beberapa bulan. Itu artinya, April akan kehilangan Juni.
“Aku sadar. Hari ini aku sadar, selama ini hati kamu ternyata milik aku. Aku kira hanya aku yang suka sama kamu, Jun. Tapi kita ngga bisa bersama,” lanjutnya.
“Tapi kenapa, Pril? Kita udah 25 tahun..”
“Itu beda, Jun! Kita temenan selama itu. Orang-orang selalu mikir 25 tahun itu ngga masuk akal. Tapi kita selalu nyangkal. Dan hanya temenan. Sejauh ini, kita menjaga persahabatan ini. Walaupun kita sering beradu mulut tapi kita tetap sama-sama.” Juni membeku, menunggu lanjutan pernyataan gadis itu.
“Tapi aku takut, Jun. Aku sadar. Perasaanku begitu egois. Aku pengen kamu jadi milik aku. Tapi aku takut. Gimana kalau suatu saat kita merasa ngga cocok dan akhirnya putus? Itu yang aku takutkan. Pertemanan kita juga bakal hancur karena itu,” lanjutnya tegas.
“Pril. Kamu ngapain khawatir tentang hal-hal yang belum tentu terjadi? Sekarang kita tahu kalau kita sama-sama suka. Terus untuk apa mikirin hal-hal bodoh kayak gitu?”
Hal-hal bodoh? April mulai mengeraskan niatnya untuk mengerti dengan pria ini. Ia buang perasaannya jauh-jauh ketika menyadari Juni tidak menghiraukan kata-katanya.
Hal-hal bodoh, katanya? Apakah perasaan Juni hanya sejauh itu untuknya?
“Apa kamu bilang, Jun? Hal-hal bodoh?” tanyanya dengan penuh penekanan.
Juni terlihat seperti baru bangun dari mimpinya dan mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia sadar bahwa ia terlalu kasar pada gadis itu.
“B-bukan gitu, Pril. Aku cuma ngga suka…”
“Kalau kamu ngga suka, ya udah. Dan Jun, karena hal ini, pertemanan kita berakhir hari ini.” Seakan tertusuk benda tajam, pria itu berdiri dengan begitu tegaknya. Tak menyadari langkah gadis itu semakin menjauh, matanya masih melotot ke depan.