Imagine

it's her.
Chapter #7

Travel 7 - She Hates 'Sorry'

           Maaf. Kata yang paling ia benci. Satu kata yang bermaksud baik namun salah digunakan. Untuk memohon kesempatan dengan satu kata itu. Untuk memperbaiki segalanya hanya dengan satu kata itu. Benar. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk manusia. Kesalahan itu normal. Semua orang pernah membuat kesalahan. Tapi setiap kesalahan memiliki sebab yang berbeda. Entah tidak sengaja atau memang disengaja.

           Jika maaf bisa menyelesaikan segalanya, kenapa ayah dan ibuku tidak pernah bersatu? Bella berteriak dalam hatinya. Maaf. Maaf. Dan maaf. Ketika orang itu berhenti mencintai. Setiap kesalahan disengaja. Menyakiti hati yang lain dan berakhir dengan maaf. Gadis bertubuh mungil yang sedang membaca novel kesukaannya itu sangat membenci kata maaf.

           Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama itu tertampang jelas di layar hpnya. Bella menatap layar itu dengan tatapan muak. Mau apa lagi bajingan ini?

           Tak lama kemudian, satu pesan singkat muncul. Tahu pemilik nama Bella itu tidak berniat untuk menjawab panggilannya, pria di seberang sana memutuskan untuk tidak menyerah dan mengirimkan pesan singkat.

 

From : David

Bella. Aku bisa jelasin..

Aku ngga bermaksud. Semuanya salah paham. Aku ngga ada hubungan apa-apa lagi dengan dia.

 

           Omong kosong ! Bukan itu penjelasan yang Bella inginkan. Ia hanya ingin memukul pria itu, kekasihnya. Yang berulang kali tertangkap basah dengan seorang wanita di hotel. Wanita yang sama. Bella bahkan membiarkannya berkali-kali. Mengingat ia hanya ingin status, bukan cinta dari seorang pria seperti David. David sudah sering berkata maaf padanya. Maaf yang paling Bella benci. Ia bahkan tidak bisa memaafkan kedua orang tuanya, apalagi David. Pria yang ia kencani sejak delapan bulan yang lalu. Tidak tahu malu dengan kedudukannya dan memilih untuk berselingkuh di belakangnya.

           Bella, gadis pecinta novel romance yang memiliki kehidupan asmara yang rumit. Ia hanya hidup sendiri di apartemen mewah itu. Kedua orang tuanya bercerai karena ayahnya berselingkuh. Berulang kali, ayahnya memilih untuk bermain api di belakang. Sempat ditemukan sedang bermesraan dengan wanita simpanannya di rumah. Ayahnya dengan bebas membawa wanita itu masuk dan tidak menghiraukan ibunya. Setelah bercerai, Bella memilih untuk mengikuti jejak karir ayahnya. Menjadi CEO di perusahaan bisnis terbesar di kota Jakarta, milik ayahnya. Sedangkan ibunya, keberadaannya tidak diketahui. Bella benci mengingat wanita tua itu yang tega meninggalkannya di dalam dekapan ayahnya saat ia masih berusia 8 tahun, tanpa memikirkan perasaan anak perempuannya yang masih tidak tahu apa-apa.

           Ia terpaksa mencari seorang pria untuk ia kencani. Ia bukan mencari cinta. Hanya mencari status yang bisa ia gunakan kepada publik. Wartawan terus mendesak keberadaan seorang pria di samping Bella.  Jadi, ia memutuskan untuk mengencani karyawannya yang sudah cukup lama bekerja di perusahaannya. Ia bahkan berjanji untuk menaikkan gaji karyawannya itu. Dan ketika berita mengenai dirinya yang berkencan dengan karyawannya tersebar luas, Bella dicap sebagai wanita yang tidak memandang status ketika menjalin hubungan. Berbagai komentar positif juga muncul dan tentunya menguntungkan perusahaan.

 

*******

 

           Keesokan paginya, Bella memutuskan untuk bertemu dengan David setelah membalas pesan singkat itu. Dengan anggun, dia berjalan dengan pakaian rapinya yang sudah mencerminkan dia adalah seorang CEO dan masuk ke dalam satu mobil mewah dari sekian mobil mewah yang lain di garasi luasnya. Tanpa menunggu lama, ia langsung melaju dengan mobilnya ke perusahaan.

           Dua puluh menit berlalu dan Bella sudah sampai di gedung perusahaan milik ayahnya. Ia bergegas dari mobilnya dengan sebuah tas hitam di sampingnya. Ketika sampai di ruangannya, ia memerintahkan sekretarisnya untuk memanggil David ke ruangannya.

“Metta, panggilkan David. Suruh dia ke ruangan saya sekarang juga.”

“Baik, Bu.” Jawab Metta, sekretaris pribadi wanita anggun itu.

           Jam dinding ruangannya menunjukkan pukul delapan pagi. Karyawan-karyawannya pasti sudah datang sebelum jam delapan. Dan ia benar-benar ingin menyelesaikan semuanya dengan karyawannya.

           Beberapa menit berlalu, akhirnya terdengar suara ketukan sopan dari luar. Bella memberikan isyarat untuk masuk. David, pria itu muncul dengan wajah gugup. Terpampang jelas wajah ketakutan itu dan tertangkap oleh Bella. Bella tetap bersikap seperti biasanya.

“Silakan duduk.” Bella mempersilahkan pria yang kini salah tingkah itu ke sofa di seberangnya.

Lihat selengkapnya