Bukan Laura namanya kalau tidak terlambat ke sekolah. Ia masih memandang jam tangan Hello Kitty di pergelangan tangan kirinya. Bukannya beranjak dari kursi panjang itu, gadis yang berambut blonde itu malah meresap udara pagi itu. Terdapat aroma yang sangat ia rindukan. Ya. Ia rindu udara yang sekarang ia hisap rakus dengan hidungnya. Meskipun itu hanya hayalannya. Meskipun sebenarnya ia hanya menghirup udara buatan. Entah sudah berapa lama ia menahannya. Wajar saja, penyakitnya tak pernah mendukungnya untuk beranjak dari tempat tidur mungilnya. Ia tersenyum miris. Kapan lagi aku bisa merasakan ini? Siapa yang tahu penyakit itu akan mengangguku? Benaknya dalam hati.
Tak terasa sudah hampir setengah jam ia mengistirahatkan tubuhnya di kursi panjang di taman sekolah itu. Ia sengaja. Sengaja tidak masuk ke kelas dan mengulur waktu dengan berkeliaran di taman sekolah. Selang alat pernapasan itu masih menancap dalam kedua lubang hidung cantiknya. Ia menghela nafas dalam-dalam. Semuanya palsu. Semua yang ia hirup bukanlah yang ia inginkan. Dan menurutnya, tak ada gunanya menghabiskan waktu di sekolah. Toh dia juga akan mati nantinya. Meninggalkan kedua orangtuanya dan dua saudara laki-lakinya. Aku bahkan tidak pernah merasakan apa itu cinta monyet. Sesalnya dalam hati.
Laura memutuskan untuk meninggalkan tempat teduhnya dan mengangkat tabung alat bernapas itu. Sebelum sempat mengangkat tubuhnya dari kursi panjang itu, Laura melihat pemandangan asing. Lebih tepatnya seseorang di seberang sana. Entah sejak kapan sosok itu duduk di sana, yang pasti Laura tidak pernah menyadarinya. Sosok laki-laki berseragam sepertinya duduk di kursi panjang lainnya yang berada di taman itu. Laura mulai penasaran. Siapa dia? Ia bertanya-tanya dalam hati. Dan keberaniannya terkumpul saat anak laki-laki itu mulai menyadari adanya tatapan aneh dari sampingnya.
“Hi.” Sapa Laura ramah.
Anak laki-laki itu tak bergeming. Ia kembali fokus dengan buku tebal yang sedari tadi ia baca. Sombong sekali bocah ini. Bentak Laura dalam hati. Ingin rasanya ia menarik anak itu mengingat ia bukan orang yang menyukai perlakuan seperti ini.
“Apa kau tidak punya mulut untuk berbicara?”
“Bisakah kau berhenti mengusikku? Jika kau mau bolos, jangan ajak aku. Kau tidak lihat aku sedang sibuk?”
Akhirnya ia menjawab. Namun kata-katanya tanpa sengaja menusuk hati Laura. Benar. Ia memang sering bolos. Tidur di kelas. Terkadang hanya masuk sekolah sekali dalam seminggu. Orangtuanya pun tak peduli, menurutnya. Mereka dapat menarik kartu mereka dan menyodorkan uang gelap pada kepala sekolah. Itu semua juga bukan keinginannya. Karena penyakit paru-paru yang ia idap, semua impiannnya hancur. Ia kehilangan mimpi-mimpinya. Laura terpaksa melepaskan impiannya untuk menjadi seorang guru taman kanak-kanak.
Dulu ia sangat menyenangi anak-anak. Hampir setiap hari ia pergi mengunjungi anak-anak di panti asuhan. Bermain dan tertawa dengan mereka. Menyanyikan lagu yang membuat semua anak-anak larut dalam alunan yang dibawanya. Namun semuanya berubah ketika ia menyadari ada yang salah dengan keadaannya.
“Aku tahu. Kau tidak suka anak sepertiku. Tapi kau tidak tahu apa yang aku ….”
“Jangan berdrama di sini. Kau bisa pergi ke kelas drama dan mendapatkan genre drama yang kau inginkan. Jika kau mau, aku bisa mengantarkan..”
Kalimat anak laki-laki itu terhenti ketika ia menyadari gadis di depannya mulai terisak. Pelan. Hampir tak terdengar namun masih tertangkap oleh telinganya. Kenapa? Pikirnya. Sepertinya ia menyadari kekasarannya dan ucapan yang ia lontarkan begitu menyakiti gadis yang berdiri di hadapannya dengan rapuh.