Aku bukan melarikan diri. Tapi karena aku tahu aku tidak pernah berhasil untuk membahagiakanmu. Aku yang salah. Bukan kamu. Aku egois. Aku selalu sibuk dengan diriku sendiri. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku. Untuk pertama kalinya, aku melakukan hal-hal konyol. Karena kamu, aku percaya diri untuk mencintai lagi. Kamu tahu itu. Tak pernah sedetik pun aku berhenti menempatkan kamu dalam pikiranku. Terima kasih sudah berkorban untuk pria yang tak berguna sepertiku. Terima kasih untuk semua hal romantis yang kamu ciptakan untukku. Dan terima kasih untuk selalu memperhatikan kesehatanku selama ini. Maaf tidak bisa membahagiakanmu. Aku sadar, kamu terlalu sempurna untukku. Untuk terakhir kalinya, aku mau bilang kalau kamu wanita yang mampu membuat aku melupakan masa laluku yang kelam. Aku bersyukur bisa menjadi laki-laki yang bernaung di hati kamu. Kamu yang paling indah. Kamu yang paling bersinar di hidupku, Aurel. Aku bersedia melepaskanmu sekarang. Aku tidak akan memaksa kamu. Kamu boleh berhenti memikirkanku. Kamu boleh bertemu pria lain. Tapi berjanjilah, dia harus lebih baik daripada aku. Yang tidak akan membuatmu menunggu sia-sia. Aku hanya ingin kamu bahagia, meskipun bukan bersamaku. Jaga dirimu, cantik. Jaga keluargamu. Jaga kesehatanmu. Belajarlah yang giat dan dapatkan pekerjaan yang layak. Dan jangan berhenti tersenyum. Aku mencintaimu. Kamu tahu kamu yang terakhir untukku. Ini akhir untukku tapi bukan untukmu. Sekali lagi, maaf atas segala kesalahan yang aku perbuat. Dan maaf karena tidak bisa melakukan berbagai hal yang kamu inginkan dariku selama ini. Selamat tinggal, Aurel.
Kertas pink itu kembali menusuk batin gadis itu. Ia berusaha untuk menahan, tapi hatinya terlalu hancur. Hancur berkeping-keping. Dia tidak memperjuangkanku., Itulah yang terbesit di benak Aurel saat pertama kali membaca surat dari seseorang yang amat ia cintai. Michael, yang kini menjadi mantan kekasihnya. Orang pertama dari sekian banyak orang di luar sana yang membuatnya bergetar setelah beberapa tahun hidup sebagai jomblowati.
“Kembali lah, Michael. Aku… tidak bisa hidup seperti ini.”
Suaranya bergetar. Ia merindukan sosok itu. Perpisahan ini terlalu berat baginya. Perpisahan yang hanya didasari dengan kertas pink yang dipenuhi gambar hati ini sangat kekanak-kanakan. Andai semuanya kembali seperti semula. Ia ingin mengubah semuanya. Kata-kata kasar yang dilontarkan kepada Michael sudah terlalu gila untuknya.
“Aku menyakitinya. Kamu bodoh, Aurel. Bodoh.”
Ia duduk di bangku kecil di depan meja riasnya. Ruangan itu tampak berantakan. Semua benda yang berada di meja mungil itu berbaring di lantai. Cermin besar itu juga sudah penuh dengan lipstik gadis yang sudah dua hari ini terisak setelah kepergian kekasihnya. Di depan meja rias itu, Aurel berusaha mencerna kembali tulisan-tulisan yang ditulis oleh Michael. Apakah aku memang benar-benar wanita yang dicintainya? Lantas kenapa? Kenapa ia pergi begitu saja? Apa ia pikir aku akan menerima semua ini dengan lapang dada? Tidak akan pernah, Michael. Berbagai pertanyaan terlintas di benaknya dan membuatnya tak bisa mengontrol air matanya.
Ia kembali mengingat masa-masa indahnya dulu. Hari itu, pertemuan pertamanya dua tahun lalu. Ia putar lagu yang sering dinyanyikan oleh Michael. Lagu yang membuat Aurel terdiam saat itu. Terdiam dan hanyut dalam pesona sang pengantar alunan indah itu.
***
5 Desember 2013
“Namamu Aurel, kan? Ratu cantik yang sering membuat para mahasiswa di sini hanyut dalam pesonamu, bukan?”
Pipinya seketika memanas. Betapa inginnya ia merangkul tubuh kekar yang berdiri di hadapannya itu dengan tidak sopan. Dengan kemeja hitam dan celana jeans biru yang ia kenakan, juga senyum yang terlukis di setiap bagian wajah pria itu membuat hatinya hampir meledak.
“Iya. Kamu tahu darimana?”
Konyolnya pertanyaan itu, Tentu saja ia tahu, Aurel. Bentak Aurel dalam hati. Karena sepertinya surat cinta yang berisikan puisi kekaguman itu telah disesap pria tampan itu. Atau memang karena julukan dia di kampus ini. Semua orang tahu itu. Para wanita bahkan mengagumi kecantikannya. Tubuhnya yang tinggi dan bentuk tubuhnya yang ramping namun tetap tampak berisi itu berhasil membuat semua mahasiswi di kampus ini mendendam. Wajahnya yang bulat dan hidungnya yang mancung, juga bibir mungil merah itu melelehkan penglihatan para mahasiswa di kampus.
Pria itu tertawa kecil dan memandang pemilik rambut hitam panjang dan ikal itu dengan tatapan menuduh. Penasaran dengan gadis yang duduk anggun di depannya.
“Eung… Kok kamu…”
“Memandang.”
“Apa?” Tanya Aurel polos.
“Aku hanya tidak ingin menyia-nyiakan pandangan indah di depanku saat ini.”
Oh tidak! Ia jago melontarkan kata-kata manis dari bibir ranumnya. Aurel tersenyum tipis. Berusaha tetap tenang. Detak jantungnya bahkan menolak untuk berkompromi.”
“Oke. To the point, aku penggemarmu.” Ucap Aurel asal.
“Terus?”
“Apa maksudmu?”
“Lantas kenapa? Tulisanmu bagai seseorang yang tengah jatuh cinta.”
Deg! Benar. Aku jatuh hati padamu, tampan. Aurel mengakuinya dalam hati.
“Apa itu salah? Aku menulisnya untuk idolaku. Wajar isinya seperti itu. Jangan salah…”
“Salah paham?” tebak Michael dengan tatapan yang sama. Misterius dan sangat menuduh.
Aurel hanya mengangguk pasrah. Tampak keraguannya terbaca oleh pria tampan itu.
“Well, Aurel. Aku berharap… Tidak. Aku sudah salah paham. Dan aku berharap kesalahpahaman ini berlanjut.”
Aurel membeku. Apa pria ini mengharapkannya untuk bertindak lebih agresif untuk hal ini?
Kursi panjang di kantin itu sedikit terguncang ketika seorang mahasiswi lain duduk di atasnya.
“Rel, sorry telat. Tadi aku…”
“Aurel, lagu yang tadi kamu dengar di ruang latihan adalah rasa terima kasihku atas puisi yang kamu buat. Lain kali, aku harap kamu tidak akan mengintip.” Michael berdehem tegas namun menggoda sang pendengar yang sedari tadi tak berhenti menatapnya. Michael tersenyum geli.
“Maaf sudah memotong alasanmu.” Ia bahkan ingat gadis yang sejak tadi terdiam ketika pria itu memotong kalimatnya. Michael tertawa melihat kedua gadis di depannya yang tidak memberikan respon sama sekali.
“Alright. See you.”
Teman Aurel, Amy bahkan mematung. Terlebih lagi Aurel sudah matang dengan sempurna. Pipinya memanas. Detak jantungnya menggila. Kesempatan sepertinya tersedia untuk Aurel.
Aurel masih membaca. Terus membaca dan mencerna. Jika ia bisa, ia ingin merobek kertas ini. Namun inilah yang tersisa. Yang tersisa dari Michael.
Michael, kamu dimana?
Michael, maafkan aku.
Sayang.. Jangan marah lagi ya.
Michael, please.
MICHAEL, KAMU JAHAT!
Kamu jahat, bajingan!