Imagine

it's her.
Chapter #11

Travel 11 - Black Spot

 “Sejak awal, aku memang tidak pantas untukmu, bukan?”

“Apa maksudmu?”

“Untuk apa kau tahan keberadaanku sampai saat ini?”

           Helaan napasnya tak berhenti berkutik. Keluar tanpa ijin dari pria di hadapannya. Lelaki yang mengikat janji di altar dua tahun lalu dengan rambut coklat dan mata hitamnya juga bulu mata lentik itu, fokus menatap lelaki berambut pirang di hadapannya.

“Jangan menyangkal lagi, Brian. Aku tahu. Aku tak pernah memiliki kesempatan itu. Untuk memilikimu seutuhnya.” Wanita itu bersikeras dengan pemikirannya. Pemikiran negatif yang ia yakini sebagai kebenaran.

           Lelaki itu mendesah kembali. Mengumpulkan udara malam yang dingin itu ke dalam lubang hidungnya dengan ikhlas. Tatapannya berkabut. Kedua matanya seakan ingin melompat jatuh ke tanah dan berlari seolah kedua mata itu memiliki kaki. Ia tidak mampu lagi. Tuduhan yang berulang-ulang, membuatnya tidak mampu berdiri di tempat itu lebih lama.

“Baiklah. Jika aku benar-benar tidak bisa kau miliki, untuk apa pernikahan kita ini? Kau selalu menuduhku dengan alasan yang tak masuk akal. Aku berusaha mengerti. Hendak memaklumi segala tuduhanmu dan menganggap bahwa itu hanya kekhawatiran belaka. Tapi apa yang kudapatkan?” Brian melontarkan segala isi hati dan kegelisahannya yang ia tahan selama satu tahun belakangan ini. Sebelum melanjutkan, Brian menatap wanita itu dengan pandangan menuduh. “Kumohon. Bukan hanya kau yang tersiksa. Aku juga. Bukan aku yang menginginkan semua ini. Atau mungkin kau menemukan sosok yang lebih baik dari diriku?” tuduhnya tanpa basa basi.

Angel tidak mampu menghindari seringaiannya yang mengejek. Ia merasa kalah. Kalah oleh perasaannya yang selalu menyelubungi pikiran negatifnya. Ia tidak bersedia untuk membiarkan pikiran positif masuk ke dalam pikirannya. Percaya atau tidak, ia tidak ingin merasakan sakit yang lebih dalam lagi.

“Kau pikir aku tidak pernah berusaha? Aku berusaha, Brian. Aku berusaha keras untuk menerima kehadirannya. Kau kira aku yang menginginkan ini semua? Tidak! Siapa yang akan percaya dengan persahabatan konyol seperti itu?” Angel kembali menuduh.

“Kau selalu pulang larut malam dan meringkuk ke dalam selimut yang berada di atas tubuhku seperti kucing yang sedang mencuri makanan di atas meja. Kau merasa bersalah selama ini, bukan? Persetan dengan persahabatanmu yang tidak masuk akal itu! Kau dan dia seharusnya berakhir setelah kita memutuskan untuk hidup bersama. Hanya berdua. Aku dan kau. Hanya kita berdua,” lanjutnya dengan isakan tertahan.

           Persahabatan yang tidak masuk akal, katanya. Brian mencibir. Wanita yang ia kasihi ini bahkan tidak bisa mengerti dirinya. Pertahanannya pun retak seketika. Amarah menguasainya sekarang. Ditatapnya kedua mata yang berkaca-kaca di hadapannya itu, menghindari adanya kesedihan yang terlukis dalam bola mata sang pemilik. Brian memilih untuk tidak mengalah kali ini.

           “Aku lelah. Angel. Baik. Lebih baik aku pergi. Aku tidak pantas untukmu, bukan? Aku tahu pernikahan ini memang kesalahan. Kita saling mencintai. Tapi bukan berarti hanya cinta yang menjadi kebutuhan dalam pernikahan kita. Aku butuh kepercayaan darimu. Tapi sepertinya tidak ada tempat untukku masuk ke dalam celah kepercayaan itu. Kau membangun kekhawatiranmu menjadi tumpukan curiga yang tidak sepenuhnya benar.”

           Tidak saling mencintai, Brian mengoreksi.

           “Seingatku, semuanya memang kebenaran. Kau hanya memanipulasi alasanku menjadi sebuah kejahatan. Jika itu yang kau inginkan, maka pergilah. Aku tidak mengharapkan-”

           “Kesempatan? Tidak- aku tidak akan meminta!” potong Brian.

           “Dan aku tidak bersedia memberi.”

           Itulah akhir dari pertikaian mereka. Mungkin tidak ada yang akan mampu memperbaiki hubungan ini. Atau tanpa sengaja akan diperbaiki keesokan harinya.

Brian sendiri sudah lelah dengan keegoisan Angel. Ia bahkan dengan susah payah mencoba mempertahankan persahabatannya yang dengan tidak sengaja mempertaruhkan pernikahannya.

           Angel, wanita yang ia nikahi dua tahun yang lalu. Pertemuan mereka berawal dari perkenalan singkat di Paris, tempat ia magang saat itu. Jennifer , sahabatnya, yang mempertemukan mereka berdua.

           Awalnya, Brian tidak berniat untuk menemui wanita lain. Mengingat dirinya ingin fokus dengan pekerjaan. Namun sebenarnya, ada alasan yang lain yang tidak berani ia utarakan, takut jika ada yang terluka nantinya.

           “Angel,” ucap wanita itu, dengan nada yang sopan dan logat bahasanya yang terdengar kental, asli orang Inggris.

           Mau tak mau, Brian menyambut tangan wanita itu. “Brian.”

           “French?”

           Brian terkekeh diikuti dengan gelengannya. “American.”

           Kemudian percakapan mereka berlangsung, namun lelaki itu masih fokus dengan perasaannya. Ia melirik wanita di hadapannya. Bukan Angel, Jennifer masih tersenyum di sana.

           Masih menatap ke arah Jennifer. “Kau bekerja di sini?”

           Angel mengangguk. “Jika tidak?”

           Brian mengutuk dirinya sendiri karena ketidakpekaannya, ia bahkan tidak mampu untuk melanjutkan percakapan mereka, apa ini karena ia menyukai wanita yang lain?

           Atau hanya secara naluriah, dia bukan pria yang talkactive?

           “Apa ada sesuatu yang mengusikmu?” tanya wanita pemilik butik Brave di Paris, berhasil merusak lamunannya.

           Spontan Brian menjawab, berusaha untuk terlihat setenang mungkin. “Tidak. Maafkan aku atas ketidaksopanan ini.”

           Angel hanya tersenyum sekilas, masih nampak biasa saja.

Lihat selengkapnya