Kutembus jalanan yang ribut dengan suara sekumpulan orang. Dua bola mini di telinga menjagaku dari keributan. Dengan hati yang gelisah, aku menyanyi sedih di dalam hati sambil berjalan menuju bangunan raksasa di seberang.
Langkahku terhenti ketika aku menyadari tempat apa yang kupijaki saat ini. Ini hotel.
Oh, kau gila. Aku menggerutu dalam kekalutan yang luar biasa.
Orang-orang di sekitar tempat mewah untuk berteduh sementara menatapku dengan tatapan yang tak biasa. Bukan seperti tatapan yang diberikan seorang ayah ketika putrinya mendapatkan nilai lima dalam rapornya. Atau tatapan yang diciptakan seorang pengemis ketika manusia berekonomi tinggi mengabaikannya. Mereka menatapku seakan aku – tidak pernah ada?
Sup yang aku suap ke dalam mulutku bahkan tidak bisa kusesap rasanya. Lidahku menghunus untuk mengecap tapi rasanya tidak pernah tersentuh. Air yang aku minum juga tidak terasa di tenggorokanku. Kemana air itu mengalir? Aku merasa tubuhku ini tidak dibanjiri oleh satu gelas air mineral. Setetes pun tidak ada.
Aku suka ini. Apa ini artinya aku tidak akan merasa terluka jika kekasihku pergi? Akankah rasa sakitnya memudar secepat air yang tidak tersentuh oleh tenggorokanku?
Lupakan, mungkin itu hanya kebetulan. Mungkin itu adalah efek dari tawaku yang begitu menggelegar pagi ini. Di hadapan orang yang telah menggendongku di dalam perutnya selama sembilan bulan, aku merutukinya dengan pedang di dalam mulutku.
Aku menyesal telah dilahirkan olehmu.
***
“Sarapan, sayang!” Wanita separuh baya meneriakkan perintah di lantai bawah, membangunkanku dari alam mimpi.
Aku menyapu kotoran mataku dan mengusap kedua mataku dengan perasaan jengkel yang melanda. Ini masih pagi, tepatnya enam pagi. Tapi kenapa wanita itu mengusikku sepagi ini?
Kuturuni anak tangga dengan kedua muka kakiku yang terbungkus sandal Hello Kitty. Kedua mataku masih terpejam setengah. Tangan kananku masih sibuk menutup kancing atas piyamaku.
Uap cantik dan wangi menyerbu kedua gua hidungku tanpa permisi, membuatku hampir kehilangan arah di langkah terakhirku. Itu pasti sup ayam.
“Ih, jorok. Cuci muka dulu,” ucap Ibu yang lebih terdengar seperti perintah halus.
Aku mengerang frustasi dan berjalan ke arah kamar mandi. Kutangkup segenang air dengan kedua buku tanganku yang mengatup rapat. Genangan air itu membasahi wajahku yang kuyakini terlihat seperti harimau kurang tidur.
Setelah selesai mencuci muka, aku kembali ke dapur untuk menghamburkan perintah lain dari wanita itu.
Wanita itu tersenyum sembari meletakkan semangkuk nasi hangat di hadapanku. “Makan, sayang. Masih hangat.”
Kuputar kedua bola mataku dengan tak acuh sebelum melarikannya ke arah beberapa piring berisi lauk pauk yang begitu aku sukai.
Tak sampai beberapa detik, semua makanan pelengkap di atas meja berpindah ke dalam mangkuk kecilku.
“Rina, teman mama bilang jurusan perhotelan sedang naik daun saat ini. Banyak mahasiswi tamatan SMA mengambil jurusan itu. Jadi-“
Selera makanku tiba-tiba memudar, tertelan oleh suasana asing. Aku sudah berusaha keras untuk tidak menatap bola pingpong di mata nenek sihir ini, tapi kesabaran memiliki batas tertentu.
“Aku tidak mau mengambil jurusan itu. Minatku sudah tertanam dalam bidang sastra,” tukasku pelan sebelum menyambar sesendok nasi ke dalam mulutku.
“Sastra lagi? Sastra yang membuatmu tidur larut malam dan bangun di siang hari?”
Suara ibu terdengar beda kali ini. Apa dia marah? Itulah yang kuinginkan.
“Sastra tidak akan memberikanmu apa-apa. Keluarga kita juga tidak akan makan dengan hasil dari sastra. Kau menulis hanya karena kau menyukainya dan-“
“Jadi ibu ingin aku menafkahi pria yang tidak bekerja itu?” potongku.
Aku bisa mendengar api panas yang setengah melepuh di dalam dirinya. Sedari tadi ibu menahan untuk meledakkan amarahnya. Tapi sekarang, ia terlihat seperti mayat hidup yang memiliki banyak hal untuk diungkapkan.
“Dia ayahmu, Rina.” Ibu masih berusaha untuk mengendalikan situasi.
Aku memandangnya dengan tatapan tidak suka. “Ayah? Oh, ayah.”
Seakan telah membaca pikiranku, ibu diam dan membeku dengan suasana baru yang aku ciptakan.
“Ibu, jika dia memang ayahku, kenapa dia membiarkan ibu meneguk susu hutang? Kenapa dia lari dengan tabungan kakek dan nenek jika dia adalah ayahku? Dan kenapa dia mengusung tongkat ke dalam gua tetangga kita?”