“Memang kerja setiap hari tidak membosankan, Tik?” tanya pria separuh baya setelah menyesap teh hangat buatan adik perempuannya, Tika.
Tika menatap abangnya dengan tatapan seperti biasa, masa bodoh.
Sejak satu jam yang lalu, abangnya tak berhenti mengusiknya dengan pembicaraan yang sama seperti pertemuan mereka sebulan yang lalu.
Ia melarikan kedua matanya ke arah anak kecil yang sedang menonton hiburan favoritnya di seberang meja kerja. Sebelum menjawab pertanyaan tak berdasar dari abangnya, ia tersenyum. Tak ada yang bisa membangun kembali suasana hatinya selain buah hati berusia 5 tahun itu, Bima.
“Tika betah di sana, mas. Bosnya baik pula. Gaji juga menjanjikan,” jawab wanita beranak satu itu dengan percaya diri.
“Kamu tuh tidak cocok ikut-ikutan emansipasi wanita, yang cari nafkah seharusnya tugas suami.”
“Bukan masalah emansipasi wanita, mas. Tika juga tidak berharap bisa menjadi wanita karir seperti Sri Mulyani.”
Abangnya, Reno menghembuskan nafas beratnya sejenak dan menyeruput isi gelas yang ia pegang perlahan. “Si mpok yang berdagang sayur keliling di depan bilang anaknya juga kerja di perusahaan tempat kamu kerja. Katanya bos kalian masih single, benar itu?” tanya Reno lagi.
“Si Ririn maksudnya?”
“Eh, mas nanya tentang bos kamu, Tik.”
“Dia menduda, mas. Ditinggal istri. Ada yang bilang istrinya meninggal karena kanker payudara.”
“Berarti ada kesempatan buat kamu,” ujar Reno mendukung.
Jari-jari orangtua tunggal itu masih berkutat di atas laptop sambil meladeni saudara sedarahnya. “Lebih tua 10 tahun dari Tika loh. Masa iya, mas mau jodohin aku sama duda?”
Reno tertawa pelan dan menggeleng setelahnya. “Loh, ngga apa-apa lah, Tik. Daripada kamu kerja terus-terusan seperti ini. Mendiang suamimu pasti sedih di alam sana.”
Tika ditinggal oleh suaminya sekitar 5 tahun yang lalu. Ia sempat berpikir untuk mencari pengganti. Tapi ia terlalu takut untuk mencoba.
Bukan karena cinta adalah penghalangnya, tapi ia memilih untuk menafkahi putranya dengan keringatnya sendiri.
Terlebih lagi, zaman sekarang para pria hanya tahu menguras dompet istri dan meniduri sofa seharian.
“Buktinya Tika bisa menafkahi keluarga sendiri.”
Reno berdeham sesaat setelah sindiran itu disuarakan oleh adik bungsunya.
Tika sadar perkataannya tidak sopan dan sangat menyindir, tapi ia tak ingin diprovokasi terus-terusan oleh abangnya.
“Itu kan persoalan lain. Waktu itu mas juga sedang tidak punya uang.”
“Tidak ada uang kok malah main di wartek sama anak Haji Dulah.”
“Sudah biasa, silaturahmi saja.”