Imaginfinity

astrid nur alfaradais
Chapter #1

ONE

My love is higher than the sky, deeper than the ocean, warmer than the sun shining down on me, quiet as a prayer –Ariel’s Beginning

Kau tidak benar-benar tua untuk menikmati dongeng-dongeng dunia.

Mungkin kata-kata itu benar. Mungkin usia adalah salah satu faktor yang menghalangimu untuk membaca atau menonton dongeng seperti Disney Princess atau Mickey Mouse. Tapi tidak menurutku.

Kisah-kisah impian itu tidak ada hubungannya dengan usiamu, meskipun usiamu yang tak lagi muda sekalipun. Begitu pula dengan diriku. Meskipun usiaku yang nyaris menginjak 17 tahun—tolak ukur kedewasaan seseorang—aku tetap menyukai dongeng-dongeng yang kadang dianggap orang terlalu dramatis ataupun di luar batas normal pikiran seseorang.

Apa salahnya? Dengan dongeng kau bisa senantiasa bermimpi, berkhayal, melupakan masalahmu untuk sejenak.

Bagiku sendiri, dongeng merupakan sumber inspirasi. Kisah-kisah fantasi natural yang selalu mengalir dari dongeng itu selalu mampu menyihirku. Tak jarang aku bertanya, “kapan aku bisa menemukan pangeran impianku?” atau “haruskah aku menjadi seorang putri tidur agar pangeran itu menjemputku?” atau bahkan “apakah ibu peri itu benar-benar ada?”

Memang terdengar seperti pikiran naif seorang anak kecil, tapi tak apa. Aku suka berkhayal. Aku suka bermimpi. Dan aku tidak pernah benar-benar ingin berhenti menghapus angan-angan indah milikku.

Pertama aku mengenali dongeng Disney tentu saja berawal dari kedua orangtuaku yang mengenalkanku pada dunia fiksi itu. Ibuku yang merupakan ibu rumah tangga sejati tak pernah absen menceritakan kisah-kisah magis penuh warna yang nyaris selalu menjadi mimpiku tiap malam. Tak heran kini dongeng itu telah menempati ruang khusus di benakku.

Tapi tentu, aku tidak boleh terpaku akan dongeng indah semata. Tidak akan ada kisah yang indah apabila tiada duka sebelumnya. Kini aku hanya mampu menatap ke luar jendela. Ya. Dongeng untuk diriku sendiri ... akankah semua itu terwujud?

Sebenarnya kehidupan seperti di dongeng itu benar-benar ada enggak sih?

Mungkin itulah pertanyaan yang paling sering melintas di benakku. Aku selalu membayangkan kehidupan layaknya para putri Disney.

Bangun ketika matahari terbit dengan wajah yang cantik, menikmati secangkir teh hangat dan kue kering seraya membicarakan cuaca, menikmati bunga-bunga yang tertanam di kebun kerajaan.

Tapi yah namanya juga cerita.

Berbanding terbalik dengan kenyataan.

Dengan langkah seribu aku berlari menuju garasi, di mana adik bungsuku, Vinro sedang memanaskan motor. Sigh, dahinya berkerut keras saat melihat aku baru keluar dari rumah.

“Kalau besok-besok kamu lelet kayak gini mending aku tinggal aja. Sekolah kita tuh jauh Gie!” cecar Vinro.

Aku nyengir kecil. Seolah keterlambatanku bukanlah hal yang harus dibesar-besarkan “Apaan sih Vin, bukannya udah biasa aku lelet gini? Ayolah, nanti kita terlambat!” aku segera melompat menduduki jok motor itu. Membuat Vinro oleng sesaat.

Vinro mendengus lalu menyodoriku helm. Ini memang bukan kali pertama aku membuat Vinro menunggu. Ah tidak, tepatnya aku selalu membuat dia menunggu. Bukan berarti aku adalah gadis pemalas atau sibuk berdandan seperti gadis remaja kebanyakan. Satu rutinitas yang tidak akan pernah bisa kutinggalkan sebelum berangkat sekolah, yaitu membaca novel di pagi hari. Tapi sebenarnya, kalau tidak ada rutinitas itu pasti akulah yang akan selalu menunggu Vinro. Gini-gini aku masih anak berbakti lho, bangun pagi kuterus mandi tidak lupa menggosok gigi habis itu kubantu Ibu membersihkan tempat tidurku hehehe ...

Aku tidak bercanda! Aku memang selalu bangun pagi dan membantu Mama memasak sarapan, cuma yah ... tidak seperti kebanyakan keluarga yang sehabis sarapan langsung caw, aku justru lebih memilih membaca novel sambil memutar lagu. Ya sudahlah. Aku sudah bercerita tentang rutinitasku berulang kali kepada kalian.

“Woy, jangan gerak-gerak dong! Jangan sampe udah telat, celaka lagi!” seru Vinro.

Aku mencibir. Kalau saja aku bisa menyetir motor sendiri, mungkin aku lebih memilih untuk berangkat sendiri. Geez ... Vinro adalah adik laki-lakiku satu-satunya. Nama panjangnya adalah Vivaldian Vinro. Vinro bisa dibilang adik yang tidak bergitu normal. Apakah dia hobi mengenakan baju cewek? Ataukah dia seorang gay? Oh tidak sejauh itu! Tapi Vinro bisa dibilang adalah seorang cowok yang sensible. You know what? Untuk ukuran cowok Vinro terbilang sangat rapi dalam mengerjakan semua tugasnya. Selalu bangun pagi untuk menyimak berita olahraga. Bayangkan, setiap malam dia selalu tidur jam 9 malam! Jam 9 malam untuk ukuran anak SMA? Are you kidding me? Dia mengerjakan tugasnya sepulang sekolah lalu mengulang pelajaran di sekolah saat petang telah tiba. Bahkan Vinro sama sekali tidak berminat dengan game-game PES yang sedang mem-booming saat ini. Tak heran anak autis, eh maksudku adik kesayanganku ini selalu menyabet peringkat 1 di kelasnya. Tentu hal ini membuatku bangga, tapi sifat Vinro yang too sensible ini terkadang membuatku jengah. Vinro tidak bisa diajak berkompromi saat aku ingin pulang malam dan Vinro juga tidak pernah mau menungguku yang tidak pernah pulang tepat pada waktunya.

Saat aku mencaci-caci Vinro di depan Mama, Mama hanya bisa tersipu sambil bilang, “Dulu Papa kamu juga kayak Vinro kok. Dia kakak kelas Mama yang sangat perfectionist dan menjadi idola para wanita. Aduuh ... buah memang tidak jauh dari pohonnya ya!” dan Mama akan mulai bercerita masa mudanya. God please.

Sifat Vinro ini berbeda 180o dengan kakak perempuanku, Vianina Vicky. Vicky adalah seorang shopaholic sejati! Dalam seminggu dia dapat memborong belasan hingga puluhan kantung belanjaan! Vicky juga jarang bisa makan malam dengan keluarga. Selain tabiat shopping-nya yang sudah mendarah daging, Vicky sibuk dengan kuliahnya yang sudah menginjak semester 8. Vicky juga memiliki kerja sambilan sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu bimbel ternama. Aku tidak habis pikir, seberapa besar power supply yang ia miliki? Dia selalu pergi pagi dan pulang malam. Tapi ia mampu menjaga kesehatannya (bahkan bisa dibilang ia sangat sehat) dan juga kecantikannya. Vicky terbilang primadona di kampusnya. Karena selain memiliki kulit putih mulus, mata sipit dan sederet gigi rapih, ia memiliki rambut panjang sebahu berwarna coklat keemasan tertimpa sinar matahari membuat dia sangat mirip dengan Emma Watson. Ditunjang dengan kemampuannya bercas-cis-cus Bahasa Inggris, membuat seluruh pria bertekuk lutut padanya. Dan yang lebih paraaah, dia mendapat seorang cowok yang bisa kubilang almost perfect! Nama pacar Vicky adalah Bastian Hadiputra. Putra sulung dari pemimpin Hadiputra Group, pengusaha eksport-import yang sudah terkenal di seluruh dunia. Maybe my sister is a very lucky girl ...

Kami telah sampai di depan gerbang SMA kami, SMA Negri 28. Untungnya Pak Mimin—satpam sekolah kami —masih mau membubakan gerbang. Karena aturan di SMA ini memang cukup ketat, 5 menit sebelum masuk gerbang ini akan ditutup. Tapi berkat kesepakatanku plus hadiah bulananku buat Pak Mimin pun setuju untuk tetap membukakan gerbang untuk kami.

“Untuk kami? Harusnya aku enggak usah ikut-ikutan telat kalau kamu enggak telat kayak gini terus!” komentar Vinro tajam. Memang benar sih, kalau Mama enggak memaksa Vinro untuk selalu menungguku dulu, pasti Vinro sudah memegang rekor murid yang paling awal datang ke sekolah. Tidak seperti saat ini yang selalu datang mepet 10 menit sebelum bel berbunyi.

Dengan langkah tergesa aku segera memasuki kelasku. Meski aku datang 10 menit sebelum bel masuk, tampaknya teman-temanku masih sibuk dengan kerjaan mereka masing-masing. Ah. Tepatnya mereka sibuk mengerjakan PR. Apalagi hari ini memang ada PR Sejarah dari Bu Suciati. Guru paling killer di sekolah. Belum ada murid di kelasku yang nekad tidak mengerjakan PR Bu Suciati. Otomatis tidak mengerjakan PR sama dengan mati.

“Gila baru datang kamu? Sombong bener, kamu udah ngerjain PR si Suci?” serbu Caitlyn, salah satu sahabatku yang tampak sibuk menyalin PR Bu Suciati yang bejibun.

“Ada yang belum nih Cait. Terus buku Tika-nya mana?” tanyaku seraya mengeluarkan buku IPS dan alat tulisku.

Caitlyn angkat bahu. “Tahu sendirilah, buku PR Tika itu paling laku. Paling ada yang lagi nyontek ke dia.”

“Ikutan nyontek dong Cait?”

Caitlyn melotot ke arahku. “Enak aje Gie! Aku aja belum beres! Cari contekan lain sana!”

 “Pelit.” Aku mencibir pelan.

Mataku mulai mencari murid yang tampak nganggur. Tapi nihil. Semua tampak sibuk mengerjakan PR sialan itu. Hingga seseorang menepuk pundakku pelan.

“Virgie, kamu udah ngerjain PR sejarah belum? Nih aku udah,”

Aku menoleh. Rupanya Tika, sahabatku yang paling rajin, pintar, solehah, dan baiknya selangit. Menawarkanku buku catatan sejarahnya yang selalu menjadi sasaran empuk teman-temanku untuk mencontek.

“Beneran nih Tik? Bukannya lagi banyak yang minjem buku kamu?” aku menatap Tika dengan mata berbinar. Seolah malaikat telah jatuh dari surga.

“Enggak apa-apa kok Gie. Aku emang sengaja ngambil bukunya dari mereka. Cepetan salin gih. Nanti keburu masuk,” katanya dengan senyum lembut dan wajah yang polos.

“Makasih Tika! Kamu emang sahabatku yang paling baik!”

Aku memang beruntung memiliki dua sahabat seperti mereka.

Pertama, yang sudah tidak diragukan lagi dan selalu menjadi rebutan. Rostika Puri Hanggaesti, atau lebih sering dipanggil Tika. Tika memiliki wajah berbentuk tirus dengan lesung pipi di pipi kanan dan kiri, membuat ketika dia menyunggingkan senyum, maka lesung pipi itu akan menonjol keluar dengan manis. Rambutnya yang panjang berwarna hitam, aku serius. Rambutnya bahkan lebih hitam dari iklan shampo! Hitam lembutnya persis seperti pualam. Rambutnya yang selalu digerai selalu menjadi daya tarik Tika. Apalagi dengan poni rata sebatas alis, ditunjang dengan tinggi badannya yang seperti liliput. Dibalik itu semua, yang membuatku nyaman berada di sisi Tika adalah kebaikan hatinya. Sebagai murid terpintar di kelas, tidak membuat dia besar kepala atau pelit. Justru Tika bisa disebut gadis yang paling baik di kelas. Ia selalu rela menyumbangkan buku PR-nya untuk diconteki murid sekelas. Dan yang mengagumkan, dia tidak pernah marah bahkan mengeluh apapun!

Yang kedua, Caitlyn Camelia Warrouw. Murid blasteran Indonesia-Rusia. Cantik? Pasti, bule gitu! Alis bulan sabit yang membingkai kedua bola matanya yang seperti permata jamrud. Bibir mungil berwarna pink mengkilat yang selalu terpoles lipgloss strawberry lembut. Lebih menarik lagi, rambut panjang sepinggang berwarna pirang kecoklatan dan model layer acak, membuat Caitlyn tampak sangat modis. Di kelas pun Caitlyn yang paling tinggi, yaitu 170 cm. Tapi itu tidak lantas membuat dia seperti tiang listrik. Seluk beluk tubuhnya seperti gitar spanyol. Berisi di bagian dada tapi menyempit di bagian pinggang. Dengan kecantikan sempurna seperti itu, siapa yang tidak menaruh hati pada Marion Raven versi Indonesia ini? Tentu saja dalam kelompok dia tidak hanya sekedar melirik kaca seraya merapihkan poni rambutnya. Caitlyn juga aktif dalam mengerjakan tugas kelompok, meski jika sedang malas yang ia lakukan hanya meraih Blackberry Dakota-nya dan mulai BBM-an.

Meski mereka berdua populer, tidak semata membuatku menjadi rumput liar di antara mereka. Aku memang bukanlah gadis yang paling cantik di sekolah. Aku tidak secantik dan sekaya Caitlyn, juga tidak sepintar Tika. Bisa dibilang aku ini murid yang terbilang biasa saja. Ciri-ciriku hanyalah tinggi badan yang mendekati 165 cm, rambut panjang lebat sebahu, tahi lalat yang tepat ada di sebelah mataku dan gigi taring gingsul. Meski fisikku terbilang biasa, ada satu hal yang selalu menjadi kebanggaanku. Yaitu statusku sebagai kapten cheers. Tentu saja status itu tidak kudapat dengan mudah atau hanya sekedar keberuntungan. Sejak kelas 10, aku berlatih keras demi memajukan ekskul cheers. Dan beruntungnya, aku bisa mendapatkan status sebagai kapten cheers tersebut.

Saat aku berniat mengambil buku itu, tiba-tiba sebuah tangan merebutnya duluan dariku.

“Leon!” seruku begitu sadar bahwa yang mengambilnya adalah Leon. Teman sekelasku sekaligus musuh bebuyutanku.

“Kamu nikung aja Gie! Aku kan udah duluan minjem buku ini dari Tika!” katanya kesal.

“Apaan sih kamu Leon? Udah jelas-jelas Tika ngambil bukunya buat dicontekin ke aku!” aku enggak mau kalah.

“Tika, enggak bisa gini dong! Si Virgie kan suka ngerjain PR, paling dia tinggal nyontek setengahnya. Sedangkan aku? Aku belum semuanya Tik, belum semuanya!” Leon mencoba berdrama.

“Mmm ...” Tika tampak bingung. “Ya udah, Leon aja yang nyonyek bukuku. Aku kasih tahu jawabannya aja ke kamu ya Gie?” usul Tika.

Lihat selengkapnya