Imaginfinity

astrid nur alfaradais
Chapter #3

THREE

What if it’s not everything I dreamed it would be?

And what if it is? What do I do then?

–Rapunzel

Rutinitas pagiku memang terkesan biasa. Hanya sekedar menyetel lagu-lagu pop barat seraya membaca novel di atas tempat tidurku. Dilanjutkan dengan bersenandung juga melahap kue-kue kering yang tersedia.

Belum selesai lagu I’m All About You dari Aaron Carter mengalir, pintu sudah didobrak oleh Vinro. Matanya membulat seketika begitu melihat aku tampak bersantai di atas tempat tidur dengan sehelai piama.

“Kamu belum siap-siap??” tanyanya dengan nada tinggi.

Mataku segera menoleh ke arah jam. “Baru jam 05.25 kan?” ujarku enteng.

Vinro melotot menatapku. “Kan udah kubilang, mulai hari ini aku harus di sekolah jam 6! Kamu dengerin aku kemarin ngomong enggak sih??”

Aku menggeleng polos. Ah aku ingat kemarin Vinro sempat berbicara saat perjalanan berangkat ke sekolah tapi tidak kuhiraukan. Rupanya ini yang ingin dia bicarakan. Akhirnya aku hanya bisa nyengir bersalah yang dibalas dengan timpukan bantal olehnya.

“Lima menit lagi aku tunggu di bawah! Kalau mulai besok jam setengah enam kamu belum siap, aku berangkat sendiri!” ujarnya keras disusul oleh bunyi pintu yang dibanting.

Aku melongo. Lima menit untuk bersiap-siap? Tak kuhiraukan lagi musik yang mengalun keras. Segera kuraih seragam sekolahku dan dengan cepat berlari ke arah kamar mandi.

“Kamu harus ngerti keadaan adik kamu Gie, dia kan udah jadi anggota OSIS. Sebelum masuk dia harus nyiapin berbagai hal dulu. Lagian sebelum jam setengah enam kamu emang udah mandi kan? Bisa kan kamu hilangin ritual kamu baca novel sebelum berangkat sekolah,” kata Mama seraya menuangkan susu hangat ke gelasku.

“Tapi Ma, sekolah masuk jam 7. Aku ngapain coba selama satu jam? Makanya Mama sama Papa harusnya ngasih izin aku buat belajar mobil. Jadi enggak usah bareng dia juga enggak apa-apa,” tukasku kesal seraya menggigit roti bakar dengan selai stroberi.

Mama geleng-geleng kepala. “Kalau bawa mobil sendiri yang ada kamu terlambat terus Gie. Udah, sana berangkat. Vinro nanti ngamuk lho.” Mama cengar-cengir enggak jelas.

Dengan enggan kuraih tas selempangku lalu kukecup pipi Mama. Benar saja, Vinro sudah menunggu di depan rumah. Matanya tak lepas dari jam tangan yang bertengger di pergelangan tangannya. Begitu menyadari kehadiranku, dia melemparkan helm padaku yang dengan sigap kutangkap.

“Cepetan naik.” Ujarnya ketus.

Aku menurut seraya mengumpat dalam hati. Kalau dia bukan adikku mungkin dia sudah kujitak sedari tadi. Atau karena dia adikku seharusnya aku boleh menjitaknya?

“Pegangan yang erat ya. Aku enggak tanggung jawab kalau kamu jatuh di jalan,”

“Apa maksud ka—“ ucapanku terpotong dengan suara motor yang melaju kencang meninggalkan rumah kami. Welcome Bad Hair Day ...

Kami tiba di sekolah pukul 06.00. Tepat. Pak Mimin saja sempat mengira ia berhalusinasi melihat kami, duo kakak adik yang biasanya mepet 10 menit datang sebelum bel berbunyi kini datang satu jam tepat sebelum bel berbunyi. Entah kenapa itu menjadi kebangaan untukku sendiri. Meski Vinro merasa biasa saja.

Permasalahannya sekarang adalah, apa yang harus kulakukan selama satu jam? Mengerjakan PR? Itu sudah kulakukan tadi malam, dan sisa-sisa PR yang tidak kumengerti terpaksa kuselesaikan apabila Tika sudah datang. Dan Tika selalu datang pukul 06.30, berbeda dengan Caitlyn yang datang semaunya meski tidak pernah seterlambat aku.

Maka, setelah menaruh tas di kelas, kuputuskan membaca novel di perpustakaan. Kurasa mulai hari ini aku akan melakukan ritual pagiku di perpustakaan yang memang selalu buka dari jam setengah enam. Heran, secara logika siapa yang mau membaca buku di perpustakaan sepagi itu? Atau mungkin aku salah.

Mataku membulat seketika. Aku hampir menjatuhkan novel yang kubawa saat aku berdiri di depan pintu perpustakaan. Sosok itu. Tampak tenang membaca buku di salah satu bangku dekat jendela. Pangeran impianku. Tristan.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku memastikan tidak ada kerusakan pada retina atau pupil mataku. Tapi sosok itu masih nyata. Tristan benar-benar ada di sana!

Aku hampir menabrak rak majalah mangle saking bersemangat untuk masuk. Kegaduhan kecil itu membuat Tristan menyadari kehadiranku. Aku hanya bisa membalas dengan cengiran kecil lalu membereskan rak yang sudah miring itu. Lalu dengan seanggun mungkin aku berjalan menghampiri Tristan.

“Boleh duduk di sini enggak?” tanyaku seraya menunjuk kursi di depannya. Menutupi kegugupan yang sudah menjalar di wajahku.

Sekilas dia tertawa renyah lalu mengangguk. “Enggak ada larangan tertulis kan?”

Aku mendesah lega. Rupanya dia tidak terganggu dengan kehadiranku. Dengan sekali gerakan aku sudah duduk berhadapan dengannya. Segera kubuka novelku dan mencoba membaca tiap kata yang tertulis di sana. Tapi nihil. Aku malah mulai memperhatikan sosok Tristan. Tristan tampak sangat cool ketika membaca buku. Badan tegapnya menyandar pada kursi, tangan kokohnya menumpu kepala. Hembusan nafasnya terasa amat lembut dan teratur. Dan ... wangi parfumnya amat sangat segar. Membuat diriku terbuai. Dia tidak seperti lelaki lain yang berbau keringat ataupun berparfum menyengat. Wanginya lembut, tenang, menentramkan. Kalau bisa ingin kuhirup sebanyak-banyaknya sebagai pengganti udara yang kuhela.

“Kamu suka sinematografi?” tanyaku refleks melihat tulisan yang terpampang di cover-nya. Aku segera menutup mulutku ketika dia hanya menatapku kaget. Tidak siap dengan pertanyaan yang terlalu tiba-tiba. Dasar Virgie bodoh.

“Begitulah. Kenapa? Enggak nyangka ya?” dia tersenyum tipis yang kujawab dengan gelengan keras.

“Enggak, aku hanya kagum. Jarang lho orang baca buku soal sinematografi. Apalagi kamu anak IPA. Aku sendiri juga suka hal-hal berbau film director ...” aku segera menutup mulutku kembali. Ya ampun, saking tegangnya aku sampai berceloteh yang tidak-tidak. Tapi Tristan tampak tidak terganggu. Dia kembali terkekeh kecil.

“Maaf ya, aku pasti ganggu waktu baca kamu. Atau kamu pikir aku pasti cerewet, aduh kok aku enggak bisa berhenti capruk ya?” aku menundukan mukaku. Merasa malu pada diriku sendiri.

Tristan tersenyum lalu menggeleng pelan. “Enggak apa-apa Gie. Ternyata kamu masih seperti Virgie yang dulu ya, tetap ceria dan apa-adanya. Enggak berubah sama sekali.” Tuturnya yang kini membuat jantungku berdegup kencang. Apa maksudnya? Apa dia masih mengingat aku sebagai teman SMP-nya?

Mulutku nyaris bersuara saat tiba-tiba handphone-ku berdering. Sial. Aku segera membalikkan tubuh lalu mengangkatnya. Rupanya Tika.

“Halo Tika?”

“Gie, beneran kan kamu yang duduk di depan aku? Sebelah Leon?”

“Iya, kenapa Tik?” aku mulai cemas. Jangan bilang kalau dia cemburu karena aku duduk disamping Leon.

“Ih kamu kemana? Di kelas aku sendirian. Temenin di kelas dong, atau aku nyusul kamu deh. Kamu di mana?”

Aku berpikir sejenak. Rasanya tidak mungkin bila kubilang aku ada di perpustakaan berdua dengan Tristan, Tika pasti heboh sendiri dan membuat Tristan tidak konsentrasi dalam membaca. Tapi kalau kutinggalkan ruangan ini saat ini juga, belum tentu aku bisa mendapatkan momen berdua dengan Tristan seperti ini lagi.

Aku menggigit bibir gelisah memandang Tristan yang tampak sibuk dengan dunianya sendiri.

“Halo, Gie? Kamu ngedengerin aku kan?”

“Iya Tik. Aku balik ke kelas sekarang juga, sekalian mau ngerjain PR Kimia. Bye.”

Dan telpon terputus. Aku menghela nafas lalu berbalik menatap Tristan.

“Tan, aku kayaknya balik ke kelas duluan deh. Biasa, ada PR yang belum dikerjain. Enggak apa-apa aku tinggal?” tanyaku canggung.

Tristan mengangguk kalem.

“Mmm ... terus, mulai besok kan aku harus udah di sekolah jam enam. Jadi ...” aku menggigit bibir kuat-kuat. “Boleh enggak tiap pagi aku ke sini?”

Mata Tristan mengerjap tak percaya. Tuhan ... apa aku telah melakukan kesalahan?

“Maksudku, yah kalau enggak ganggu kamu Tan. Soalnya bosen di kelas sendiri. Tapi kalau ganggu enggak jadi deh hehehe ...” aku sudah membalikkan badan siap-siap mengambil langkah seribu sebelum suara Tristan menahanku.

“Boleh Gie. Dateng lagi aja, aku tunggu.”

Aku menoleh ke arahnya. Melihatnya tersenyum kalem. Bisa kupastikan pipiku sudah bersemu merah sekarang. Aku mengangguk malu-malu lalu bergegas meninggalkannya. Berusaha terlihat tenang, tapi aku sudah berlari sambil tersenyum sendiri begitu di luar perpustakaan.

Ya ampuun, ternyata keajaiban itu ada! Aku tidak berhenti mencubiti pipiku sendiri. Mungkin ini adalah langkah awalku. Satu langkah mendekati dia, yang selama ini selalu berada jauh dari jangkauanku dan hanya bisa kupandangi dari jauh. Rasanya ingin kuteriakkan pada dunia betapa bahagianya diriku. Ah, thanks God!

Ini sudah potongan bakso terakhir, tapi tidak kurasakan lambungku menolak atau perutku yang meronta kekenyangan. Entah kenapa hari ini aku begitu bahagia dan tidak bisa merasakan hal lain selain itu.

“Kamu kayak orang gila tau senyum-senyum sendiri. Atau tepatnya, kayak orang jatuh cinta. Jangan bilang kamu udah mulai jatuh cinta sama bocah sebelah kamu.” Tutur Caitlyn ngawur.

Spontan aku hampir menyemburkan jus stroberi yang kuminum. Raut muka Tika pun berubah mendengarnya. Mood bahagiaku hancur seketika.

“Enak aja. Ini enggak ada hubungannya sama dia. Yang ada aku bad mood sendiri!” aku kembali meneguk jus stroberiku.

“Lah terus kenapa dong?” Caitlyn makin penasaran.

Berhubung aku malas menceritakannya, akhirnya Tika yang sudah kuberi tahu terlebih dahulu menceritakan segalanya secara rinci pada Caitlyn. Mata Caitlyn hanya bisa membulat. Lalu ia mencibirku dengan alasan kebahagiaanku itu terlalu berlebihan.

Peduli amat. Caitlyn yang merupakan cewek populer seangkatan mana mengerti betapa sulitnya mendekati seorang Tristan, cowok pendiam, datar, dan berharga diri tinggi. Hanya mengobrol selama beberapa menit saja sudah membuatku jingkrak-jingkrak tak karuan. Oh ya, apalagi mengingat kalau mulai besok aku sudah diizinkan untuk mengunjungi perpustakaan. Apalagi yang kuharapkan? Berada di sampingnya saja sudah cukup bagiku.

“Beneran udah cukup? Enggak bakal minta lebih?” ledek Caitlyn.

Mukaku bersemu merah. “Untuk saat ini cukup begitu saja.”

“Kalau kamu gimana Tik? Udah ada kemajuan?” kini Caitlyn beralih pada Tika yang sedari tadi hanya ikut menanggapi.

Tika tampak gelagapan lalu menceritakan bagaimana tadi Leon yang duduk di depannya meminjam berbagai peralatan tulis milik Tika. Hal yang sepele, tapi Tika tetap tersenyum malu jika mengingat itu. Leon memang terlihat memiliki ketertarikan pada Tika, mengingat tadi akulah yang ada di sebelahnya tapi dia lebih memilih untuk meminjam pada Tika. Meski jika kupikir-pikir lagi aku tidak sudi meminjamkan barang-barangku untuk disentuh oleh tangan-tangan milik Leon.

“Kalau Tika sih wajar kalau masih gugup, dia kan belum pernah pacaran. Tapi kamu Gie, untuk orang yang udah punya banyak pengalaman kayak kamu kayaknya enggak pantes deh salting-saltingan segala. Kamu harus bisa mendapatkan dia dengan sekali gerakan.”

Lihat selengkapnya