Cinta tidak melulu tentang bahagia, tetapi juga tentang rasa sakit.
***
Ishana menguatkan hati. Banyak yang harus dia abaikan: chat mesra sang suami dengan Arnetta, ucapan Arini di kantor, serta perubahan sikap Arjuna yang kian lembut.
Meski semua sudah dilakukan, tetapi hati Ishana masih jauh dari kata tenang. Dipandanginya Arjuna yang sedang bermain dengan Ziva. Mengingat sang suami masih memeluk, mencium, dan memanggilnya “sayang”, dia yakin suaminya tidak mungkin berkhianat.
“Mas Juna nggak mungkin berselingkuh,” tegas Ishana sekali lagi dalam hati.
Terdorong oleh rasa penasaran, Ishana tetap akan menyelidiki hubungan yang sedang terjalin antara Arjuna dengan Arnetta.
“Mas, lusa kamu jadi ke Surabaya?” tanya Ishana.
Arjuna menoleh lantas mengangguk. “Jadi. Kenapa?” tanyanya.
“Nanti kalau kamu ke Surabaya, boleh, ya, aku suruh Arnetta nginap di sini?”
“Boleh. Kamu sudah telepon dia?” tanya Arjuna sambil mencolek mesra hidung istrinya.
“Belum,” sahut Ishana seraya menekan nomor sahabatnya di ponsel.
Dia lantas menulis pesan permintaan kepada Netta untuk menemani dia di rumah selama Arjuna ke Surabaya.
“Aduh, sorry banget, Han. Lusa aku harus ke Hongkong, gantiin bosku meeting di kantor pusat,” jawab Arnetta dalam pesannya.
“Yaaah, jadi nggak bisa, ya?” balas Ishana pura-pura kecewa padahal sudah bisa menebak arah pembicaraan sahabatnya.
“Jangan sedih gitulah. Gimana kalau kita hangout, aja besok? Kayak biasa pas jam makan siang atau habis pulang kantor, mau, ya? Aku, deh, yang traktir.”
“Oke, deh, kita janjian di mana?”
“Popolo Café, ya, Han, jam sembilan.”
“Oke, see you tomorrow.”
Ishana menutup chat-nya dengan Arnetta dengan wajah gusar.
“Kenapa, Sayang? Temanmu nggak bisa nginep di sini?” tanya Arjuna kalem.
Ishana menggeleng lalu menyandarkan kepala di bahu Arjua. Rasa di hatinya campur aduk. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Menyadari keresahan hati sang istri, Arjuna segera merangkul pundak Ishana lalu mengecup puncak kepalanya dengan sayang.
“Jangan khawatir, aku pergi cuma seminggu, kok, nggak lama. Ada Bi Siti juga, kan, yang nemenin kamu sama anak-anak.”
Ishana tidak menjawab. Dia beranjak dari pelukan suaminya, meraih Ziva yang tengah bermain dengan Raka di lantai lalu menggendongnya.
“Abang, ayo, sudah waktunya tidur. Beresin mainannya terus tidur, ya, Nak.”
Raka mengangguk. Dia lantas menyusul ibu dan adiknya ke kamar setelah mainan yang berserak di lantai dia bereskan.
Menit-menit berlalu, tetapi Ishana masih terkurung dalam resahnya. Ternyata isi chat itu benar. Baru kali ini Arnetta menolak menginap di rumahnya. Arnetta selalu senang bermain dengan kedua anak Ishana. Dia juga menyukai masakan Siti.
“Jangan-jangan dia beneran pergi ke Surabaya sama Mas Juna?” Ishana bertanya dalam hati.
Air mata perempuan 30 tahun itu mengalir susul-menyusul. Susah payah dia menahan isaknya agar tidak membangunkan Ziva.
Perempuan itu memeluk sang putri yang sdah terlelap, kemudian ikut terpejam berharap tidur bisa mengobati luka hatinya.
Tak lama, terdengar suara derit pintu dan suara langkah kaki mendekat, kemudian Ishana merasakan tangan Arjuna melingkar di perutnya.