Luka dari seseorang yang kita anggap istimewa terasa jauh lebih menyakitkan.
***
Siang itu, Ishana tenggelam dalam sibuknya pekerjaan kantor. Setelah melewati hari yang panjang, dia pulang ke rumahnya untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum menjemput Arjuna di bandara. Dia memilih untuk berendam di bathup yang sudah penuh busa dengan wangi aroma tropis yang begitu menenangkan. Ishana berusaha untuk, setidaknya, membuat tubuhnya rileks walau hati sedang tak menentu.
Dalam keheningan, dia mengingat lagi kenangan ketika Arjuna melamarnya setelah lima tahun pacaran.
“Hana, menikahlah denganku. Kia habiskan sisa umur ini sama-sama.” Arjuna berlutut di hadapannya. “Aku nggak bisa menjanjikan hidup kita akan bergelimang harta, tapi aku bisa menjanjikan seluruh hatiku untukmu,” sambungnya sambil menggengam kedua tangan Ishana dengan lembut.
Sambil berkaca-kaca, Ishana mengangguk, menerima lamaran Arjuna.
Ishana mengembus napas panjang dan berat. Dulu Arjuna yang menjanjikan kebahagian, kini dia juga yang menghancurkannya.
Ishana berada di persimpangan. Masa depan kedua buah hati jadi pertimbangan sulit kala dia hendak memutus pernikahan. Namun, melanjutkan rumah tangga bersama pengkhianat seperti Arjuna adalah siksaan terbesar dalam hidupnya.
Di antara gamangnya hati, Ishana terpejam, menikmati setiap goresan luka yang dia terima atas perlakuan suami dan sang sahabat karib.
Dering telepon yang didengar, tidak dia hiraukan, Ishana larut dalam duka dan kesedihan. Hingga mau tidak mau dia harus bangkit dari bathub ketika satu pesan masuk dari Arjuna yang menyatakan bahwa pesawat yang dia naiki sudah mendarat. Pria itu menunggunya di kafe.
Dengan malas, Ishana membersihkan diri lalu bersiap ke bandara.
Sampai di sana, dengan senyum yang dipaksakan, Ishana duduk di depan Arjuna yang segera mendorong satu paper cup berisi vanila latte di atas meja ke depan istrinya.
“Anak-anak mana?”
Ishana bedeham, mengusir canggung yang tiba-tiba merasuk di hatinya. “Di rumah.”
Arjuna meraih jemari Ishana, kemudian menggenggamnya. “Kangen,” bisiknya.
Ishana tersenyum tipis. “Pulang, yuk. Anak-anak juga kangen sama ayahnya.”
Untuk sejenak Arjuna menatap sang istri dengan sorot mata menyelidik. Namun, Ishana segera berdiri sehingga Arjuna tidak dapat menangkap perubahan sikap istrinya dengan cepat.
“Gimana meeting-nya, Mas? Lancar?” tanya Ishana ketika mereka di mobil dalam perjalanan pulang, “tumben meeting di luar kota sendiri? Biasanya sama Irfan.”
Bukannya menjawab, Arjuna malah menggenggam jemari istrinya. “Kamu belum jawab perasaanku tadi.”
Kening Ishana mengerut. “Perasaan?”
“Aku kangen sama kamu, Han,” bisik Arjuna.
Ishana segera membuang pandangan ke luar jendela. Hati yang terluka tidak bisa dia sembunyikan lebih lama lagi.
“Kenapa?”
“Aku laper, makan dulu, yuk.”
Tanpa berkata-kata lagi, Arjuna membawa mobilnya ke restoran yang paling dekat dengan lokasi mereka saat itu. Sepanjang waktu, Ishana tidak banyak bicara. Dia bukannya tidak menyadari jika sang suami berkali-kali melirik ke arahnya. Namun, Ishana abai. Dia sedang enggan berbasa-basi dengan Arjuna.
Tiba di rumah, Arjuna melepaskan kerinduan kepada kedua anaknya. Dia meluangkan waktu untuk bercengkerama sebelum mereka tidur.
“Biar aku yang menidurkan Ziva,” ujar Arjuna.
Ishana mengangguk lalu berjalan ke kamarnya di lantai dua. Dia buka tirai kamar, kemudian mendorong pintu kaca yang memisahkan antara kamar dengan balkon. Dia lantas berjalan keluar, berdiri menatap sekeliling. Ishana merenung, apa yang akan dilakukannya sekarang?
“Sayang, lagi ngapain? Dingin banget di sini, masuk, yuk.” Arjuna yang datang dari belakang melingkarkan tangannya di pinggang ramping Ishana.
“Ziva udah tidur?”
“Udah,” bisik Arjuna di telinga istrinya.
“Mandi dulu, gih, Mas. Abis itu istirahat. Kamu capek, kan, baru turun dari pesawat.” Ishana melepas tangan sang suami.
Arjuna membeku. Dia tidak terbiasa dengan penolakan Ishana.
Ketika Ishana hendak berlalu, Arjuna menahan lengannya. “Kamu kenapa?”
Ishana menggeleng.
“Maafin aku, ya.”
“Kenapa minta maaf, Mas?”
Arjuna melepas cengkeraman tangannya di lengan Ishana seraya mengembus napas panjang. “Entahlah, mungkin aku ada salah sama kamu.”
“Mungkin?” Ishana tersenyum sinis.
“Atau kamu yang bilang sama aku, apa salahku sampai-sampai kamu bersikap dingin begini, Han?” Arjuna merendahkan suaranya. “Aku baru pulang dinas, bukannya dapat perlakuan manis dari istriku malah diajak bertengkar seperti ini.”
“Kamu yang mulai duluan, Mas,” gumam Ishana.
“Apa?”
Ishana menatap Arjuna lekat-lekat. “Nggak ada yang mau kamu ceritain ke aku?”
“Cerita? Cerita apa?” Arjuna memasang wajah polosnya.
“Entahlah, kamu yang tahu, ‘kan.”
Arjuna mengulurkan tangan hendak mengusap kepala Ishana, tetapi segera ditepis wanita itu.
“Waaah, kayaknya istriku ini lagi PMS, nih,” canda Arjuna demi mengalihkan pembicaraan. “Kalau gitu aku mandi dulu, ya. Kamu istirahat duluan, gih, udah malem.” Sebelum beranjak pergi, dikecupnya kening sang istri lebih dahulu. “Nanti aku nyusul.”
***