Kepercayaan itu seperti kaca. Saat rusak, kamu bisa saja memperbaikinya, meski begitu kamu masih bisa melihat retakannya
***
Ishana meninggalkan Arnetta yang menangis ketika mendengar suara kedua anaknya pulang sekolah.
“Bik, tolong bawa anak-anak ke kamar, ya. Nanti mereka makan siang di kamar aja,” kata Ishana kepada asisten rumah tangganya.
Dia tidak ingin kedua anaknya mendengar keributan yang sebentar lagi pecah di rumah mereka.
“Baik, Bu,” jawab Siti.
Perempuan separuh baya itu membawa Raka dan Ziva ke kamar mereka di lantai dua.
Ishana kembali menghampiri Arnetta. Dilihatnya sang sahabat tengah menerima telepon. Melihat kedatangan Ishana, Arnetta buru-buru mematikan ponsel-nya.
“Arjuna?” tanya Ishana. “Kamu nggak perlu repot-repot telepon dia karena aku udah ngirimin foto-foto kalian ke dia.”
Ishana melihat sahabatnya sesunggukkan sambil menunduk. Tak lama terdengar suara yang sangat familier dari belakang.
“Sayang.” Arjuna mendekat hendak meraih tangan Ishana sementara sebelah tangannya memegang amplop cokelat berisi foto-foto mesra dirinya dengan Arnetta.
“Diam kamu di situ, Mas, jangan mendekat!” bentak Ishana. “Udah berapa lama?” tanyanya ke Arnetta dengan suara parau dan bergetar, penuh amarah.
Arnetta makin menunduk. “Hampir setahun,” bisiknya tidak punya alasan untuk mengelak dari pertanyaan sang sahabat. “Maafin aku, Han. Aku bener-bener minta maaf. Aku tahu yang kulakuin ini salah, tapi aku cinta sama Mas Juna.”
Ishana melotot.
Buru-buru Arnetta menggenggam lengan istri sah Arjuna itu. “Bukan aku aja, Han, Mas Juna juga cinta sama aku. Kami saling mencintai.”
Mata Ishana memanas.
“Aku nggak ada maksud buat ngerebut Mas Juna dari kamu, Han, percaya sama aku. Kami cuma saling mencintai, itu aja.”
Ishana menggeleng-geleng tidak habis pikir. “Kalian gila,” ucapnya lirih seraya menepis tangan Arnetta. “Udah bermain di belakangku selama itu, tapi baru sekarang ketahuannya. Pintar sekali kalian menutupi kebusukan itu dari aku.”
“Maafin aku, Han.” Arjuna berusaha memeluk tubuh Hana yang bergetar, tetapi ditolak. “Kalaupun ada yang salah di sini itu aku. Semua salahku, Han. Arnetta nggak salah apa-apa.”
Ishana menatap Arjuna tajam dengan kening berkerut. “Udah ketahuan begini kamu masih bisa bela dia di depan mataku, Mas?”
“Bu-bukan gitu, Han, maksudku ....”
“Kalian berdua sama-sama nggak punya hati!” Ishana menyeka air matanya yang luruh dengan kasar. “Apa salahku sampai-sampai kalian perlakukan aku sehina ini?”
Arjuna menggenggam jemari istrinya yang sedingin es. “Han, maafin aku,” bisiknya.
“Kamu bener-bener mau minta maaf, Mas?” Ishana menatap Arjuna dengan sepasang mata yang memerah basah.
Tanpa pikir panjang Arjuna mengangguk.
“Tinggalin dia demi aku sama anak-anak!”
“Apa?”
Ishana menghela napas dalam-dalam lalu berkata, “Ke depannya aku nggak akan ungkit masalah ini lagi kalau sekarang juga kamu putusin hubungan kamu sama dia!”
Arjuna menatap Arnetta nanar, kemudian menggeleng. “Aku nggak bisa, Han,” bisiknya putus asa.
“Kenapa, Mas?” Ishana menjadi makin kesal ketika Arjuna tidak menjawabnya.
“Karena aku hamil, Hana!” sahut Arnetta lantang.
Melihat Ishana yang tercekat, Arnetta kian berani. “Ya, aku hamil anak Mas Juna! Puas kamu sekarang?”
Ishana membekap mulutnya erat-erat, air mata luruh susul-menyusul, hatinya teramat sakit. Tubuh Ishana begitu lemas hingga dia jatuh terduduk di kursi.
“Kalau gitu ceraikan aku, Mas!” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Ishana.
“Apa?” Arjuna berjongkok di depan istrinya. “Istigfar, Sayang, jangan sembarangan ngomong kamu.”
“Dasar kalian berdua munafik!” Suara Ishana meninggi. “Jangan panggil aku dengan kata-kata itu lagi. Aku jijik dengarnya!”
“Han, kumohon jangan begini. Kita bicarakan lagi soal ini setelah kamu tenang.”
Ishana tersenyum sinis. “Mas, kamu ini sadar nggak, sih, berbuat begini sama aku?”
Arjuna menunduk.
“Kamu selingkuh sama sahabatku, Mas! Sadar nggak, sih, kamu?”
“Han ....”
Belum selesai Arnetta bicara, Ishana sudah membentaknya. “Diam kamu! Aku lagi bicara sama suamiku!”
Arnetta mundur beberapa langkah karena ketakutan melihat wajah penuh amarah Ishana.
“Dan kamu, Mas. Kamu bisa dengan santainya nyuruh aku tenang.” Ishana melotot. “Suamiku selingkuh sama sahabatku sendiri sampai dia hamil terus aku disuruh tenang? Gila kamu, Mas!”
“Maafin aku, Han,” ucap Arjuna lirih.
“Udah berapa kali kamu bilang maaf hari ini, Mas? Apa kata maafmu itu bisa ngubah keadaan? Bisa membuat semua kembali seperti semula? Baik-baik aja? Bull shit!”
Ishana beranjak dari kursi. “Aku muak dengan sandiwaramu, Mas. Urus surat peceraian kita secepatnya, aku akan tanda tangan dengan senang hati.”
Setelah berkata begitu, Ishana berjalan ke kamar. Namun, sampai di tangga, dia berpapasan dengan Irfan yang baru datang. Pria itu terkejut melihat nyonya rumah yang berjalan tergesa dengan wajah berurai air mata.
“Han, lo baik-baik aja?” tanya Irfan hati-hati.
Ishana tersenyum samar lalu berlari menaiki anak tangga tanpa berniat menjawab pertanyaan itu.
Baru saja sampai di depan pintu kamar, Ishana merasa kepalanya seolah-olah berputar, tubuhnya lemas bukan kepalang. Dia tidak sanggup lagi menahan pukulan dahsyat dari orang-orang yang disayangi. Akhirnya badan Ishana merosot, jatuh terkulai tidak sadarkan diri.