Sekuat apa pun kamu menjaga, yang pergi akan tetap pergi. Relakan saja jika memang harus berakhir.
***
Ishana mengaduk secangkir teh hangat di dapur. Beberapa waktu lalu dia dan kedua anaknya sampai di rumah ibunya. Ishana beralasan jika Arjuna sedang di luar kota untuk beberapa hari sehingga ibunya tidak banyak bertanya tentang kedatangannya.
“Hana, ngapain di dapur, sih? Udah biarin aku aja yang bikin minum,” cetus kakak iparnya, Aina.
“Ah, nggak apa-apa, Mba. Hana nggak mau ngerepotin Mba Aina. Ini juga udah selesai bikin tehnya,” balas Ishana, “Mas Zain ke mana?”
“Itu di halaman belakang lagi main sama Raka dan
Ziva,” jawab Aina, “nanti Ziva boleh tidur sama aku, ya, Han?”
Ishana mengangguk. Aina belum memiliki anak dan sudah menganggap kedua keponakannya seperti anak sendiri.
Ishana menghampiri Zain yang sedang bermain bersama kedua anaknya. Perempuan itu duduk di kursi rotan di teras belakang. Dia menyesap tehnya perlahan.
Ishana mendengar teriakan Aina dari dalam. “Raka, Ziva, masuk dulu, yuk, ini ada puding cokelat!”
Kedua anak kecil menggemaskan itu langsung berlari-lari masuk.
Zain pun pindah duduk di dekat Ishana.
“Kak Zain mau aku bikinin teh?”
“Nggak usah, Han,” jawab Zain, “aku mau tanya, kamu lagi ada masalah sama Juna?”
Ishana menghela napas panjang sambil meletakkan cangkir teh di meja. “Aku sama Mas Juna baik-baik aja, Kak.”
“Sama Arnetta juga baik?” tanya Zain sambil menatap tajam sang adik.
Ishana tercekat lalu menunduk.
“Kamu bisa bohong sama Ibu, Han, tapi nggak bisa sama aku. Kamu tahu kenapa?” tanya Zain lagi, “aku pernah lihat mereka gandengan tangan di mal beberapa hari lalu.”
Ishana mengangkat wajahnya, kemudian menatap Zain sendu. “Aku sama Mas Juna akan bercerai, Kak.”
Terdengar helaan napas Zain. “Mereka udah pacaran berapa lama? Belum nikah, ‘kan? Kamu masih bisa mempertahankan rumah tangga kamu sama Arjuna, Han.”
“Nggak, Kak.” Ishana menggeleng lemah. “Netta, dia ....”
Mata ibu dua anak itu mulai basah. Zain menggenggam tangannya dengan hangat. “Kalau kamu sakit, Kakak juga ikut sakit, Hana.”
“Netta hamil, Kak, anak Mas Juna,” ucap Ishana lirih. Dia berusaha menahan tangisnya agar tidak terdengar oleh Ibu dan kedua anaknya.
“Astagfirullah!”
Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang mereka. Khadijjah sudah berdiri di belakang Zain.
“Ibu! Sejak kapan Ibu ada di situ?” Zain refleks berdiri.
Khadijjah segera menghampiri Ishana lalu memeluknya. Tangis Ishana langsung pecah. Zain buru-buru masuk ke rumah untuk memberi tahu Aina agar membawa Raka dan Ziva ke minimarket depan kompleks perumahan mereka lalu kembali menemani Ishana.