Imam Kedua

Intan Rahma
Chapter #7

Tidak Ada yang Abadi

Ingatlah! Tidak ada yang abadi, termasuk keterpurukan.

Semua bisa berubah atas izin-Nya. Mungkin butuh waktu yang tidak sebentar, tidak apa-apa. Jalani saja, Lillahita’ala.

***

Terdengar lantunan merdu santriawati dari masjid pesantren membacakan ayat suci Al Qur’an. Kemudian terhenti sejenak dan digantikan oleh suara azan Subuh. Ishana bergegas ke kamar Ziva untuk membangunkan putri kecilnya itu.

 “Ziva, ayo bangun, Sayang. Udah subuh, lho.” Ishana menarik selimut yang menutupi tubuh mungil gadis berusia tujuh tahun itu.

Ziva menggeliat malas. 

“Udah subuh, Bunda?” Gadis kecil itu bertanya setengah bergumam. 

Ishana mengangguk.

“Kita salat Subuh berjamaah, yuk, Nenek udah nunggu,” ajak Ishana.

“Iya, Bunda, Ziva wudu dulu, ya,” katanya sambil menyingkirkan selimut.

Ishana merapikan tempat tidurnya sebelum beranjak menuju musala kecil di rumah mereka. Usai menunaikan salat Subuh berjamaah, dia segera mandi dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sementara itu, ibunya lanjut tadarusan. 

Sudah hampir empat tahun Ishana pindah ke kota kecil itu. Tepatnya satu bulan setelah perceraiannya dengan Arjuna. Semula dia ingin menenangkan diri pasca perpisahan mereka. Dia tidak sanggup berada satu kota dengan sang mantan suami yang sudah resmi menikah dengan sahabat karibnya.

Ishana membulatkan tekad untuk pindah meski harus mengundurkan diri dari kantor dan menerima tawaran mengajar Bahasa Inggris di Yayasan Al-Munawar. 

Yayasan Pendidikan Al-Munawar yang berada di bawah naungan Majlis Al Munawar memiliki layanan mukim (pesantren) dan non mukim (reguler). Ishana mengajar di SMA reguler Al-Munawar. Ziva pun bersekolah di SD Al-Munawar.

Dengan sisa tabungan, ibu dua anak itu membeli rumah mungil di dekat lingkungan pesantren. Jaraknya hanya sekitar 15 menit jalan kaki.

Lihat selengkapnya