Imam Kedua

Intan Rahma
Chapter #9

Menjadi Lebih Dekat

Pertemuan itu akan datang seperti seharusnya. Cukup

nikmati saja prosesnya.

***

Ishana memandang wajah Ziva yang tertidur lelap. Sudah dua hari bocah perempuan itu tidak masuk sekolah. Dalam tidurnya, sesekali dia mengigau dan terbatuk-batuk kecil. Ishana mengusap pipi Ziva yang memerah karena demamnya naik lagi.

Segera Ishana menempelkan plester penurun demam di dahi Ziva. Perempuan itu mengecup kening putrinya lau berbaring di sisi anak itu. Lagi-lagi Ziva mengigau menyebut ayahnya. Teringat Ishana akan masa lalu. Setiap putri bungsunya sakit, Arjunalah yang merawat dengan telaten. Kini, hanya ada dia seorang.

Ishana mengusap-usap kepala Ziva dengan perasaan campur aduk. Setelah gadis kecil itu benar-benar terlelap, Ishana berjalan menuju meja riasnya. Dia ambil selembar foto dari laci: foto keluarga bergambar empat orang di sana. Arjuna, Raka, Ziva dengan senyum ceria sementara dirinya dengan senyum anggun. Dengan mata berair, diusapnya wajah Arjuna dalam bingkai itu. 

“Apa kabar kamu sekarang, Mas? Anakmu dengan Arnetta pasti sudah besar, ya? Laki-laki atau perempuan?” gumam Ishana, kemudian jemari lentiknya beralih mengusap wajah Raka di foto. “Bunda rindu, Nak.”

 “Kamu nggak pengen ketemu Raka?”

Satu sentuhan lembut di pundak menyadarkan Ishana dari lamunan. Segera dia masukkan lagi foto itu ke tempat semula. Ishana menatap ibunya.

“Raka udah bahagia di sana, Bu, kan, tinggal sama ayahnya,” ujarnya, “kalau Hana ke sana nanti malah bikin dia sedih.”

 “Temui dia, Nak. Raka pasti rindu sama kamu, dia juga butuh kasih sayang ibu kandungnya.”

 “Raka cuma pisah sama aku, Bu. Di sana masih ada ayah, mama, dan adik tirinya. Hana yakin Netta pasti sayang sama Raka. Dia kenal Raka dari bayi.”

“Jangan kamu sebut nama perempuan itu di depan Ibu!” hardik Khadijjah. 

“Ibu, Hana sudah ikhlasin semua. Hana harap Ibu juga ikhlas, ya. Biar hidup kita bahagia,” ucapnya, “Hana pasti akan menemui Raka suatu hari nanti.” 

Ishana berusaha tegar, tetapi air matanya terus mengalir.

“Menangislah, Nak,” ujar Khadijjah lembut.

Dia pun bergegas memeluk Ishana sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. Untuk waktu yang lama, mereka larut dalam perasaan masing-masing. 

***

Ishana merapikan jilbabnya. Dia lihat lagi wajahnya di cermin lantas bergegas berjalan ke luar kamar. Ketika melewati dapur, dia lihat ibunya sedang memasukkan kue-kue ke dalam kotak dibantu oleh Ziva.

“Kamu udah sehat, Sayang?” Ishana meraba kening Ziva. 

Putri kecil itu mengangguk.

Ishana menoleh pada Khadijjah. “Biar Hana bantu, Bu.” 

“Nggak usah, Han. Kamu bikinin minum buat Ustaz Ardi, gih, dia udah nunggu lama di ruang tamu.”

Dahi Ishana berkerut. “Ustaz Ardi? Ada perlu apa dia ke sini, Bu?” 

“Ini pesanan Umi Halimah untuk acara pengajian keluarga mereka. Ustaz Ardi datang buat ambil kue-kue ini,” jawab sang ibu.

Lihat selengkapnya