Imam Kedua

Intan Rahma
Chapter #11

Setelah Empat Tahun

Kadang kita harus sampai di titik kehilangan lebih dahulu untuk bisa merasakan arti kehadiran dan menghargai kesetiaan.

***

Sampai di rumah, Ishana masih gelisah. Dia mendengar dari Arini bahwa Arjuna beberapa kali mendatanginya untuk menanyakan keberadaan Ishana. Namun, Arini tidak pernah mengatakan apa pun kepada Arjuna. Dia benar-benar menjaga kepercayaan dari Ishana.

Zain pun melakukan hal yang sama. Meski Arjuna pernah memohon, bahkan menangis di hadapannya, dia tetap tidak memberikan alamat rumah Ishana.

“Mungkin sudah waktunya aku berdamai dengan Mas Juna, demi Raka dan Ziva,” gumam Ishana. 

Wanita itu lantas mengambil segelas air lalu meneguknya hingga tandas.

“Asalamualaikum.”   

Terdengar suara seseorang mengucap salam. Ishana meletakkan gelas di meja, kemudian membuka pintu. 

“Waalaikumsalam.”

 Ishana berdiri mematung melihat Arjuna dan Irfan di depan pintu. Dia merasa linglung dan tidak tahu harus berbuat apa. Lidahnya kelu. Arjuna menatapnya lama sehingga, selama beberapa waktu berikutnya, yang mereka lakukan hanya saling memandang hingga suara Ziva menyadarkan keduanya.

“Bunda, Ayah!” 

Ishana melihat Arjuna memandangi wajah mungil Ziva yang berdiri di belakangnya. Segera ibu dua anak itu berbalik lalu berjongkok di depan putrinya.

“Sayang,” ucap Ishana.

 Ziva memandang ayahnya dengan mata yang basah. Terlihat jelas ada kerinduan tersimpan di sana. Arjuna segera menghampiri putri kecil itu lalu mendekapnya penuh kasih. Keduanya lantas larut dalam tangis kebahagiaan.

Ishana berdiri, dia biarkan ayah dan anak itu saling melepas rindu. Sekian lama dia menyiapkan diri jika suatu saat bertemu dengan mantan suaminya, tetap saja dia tidak pernah siap.

Dalam gelisah yang teramat sangat, Ishana menoleh ke Irfan yang berdiri di belakang Arjuna. Mata pria ikut berkaca-kaca melihat pemandangan haru di hadapannya. 

“Apa kabar, Fan?” tanya Ishana pelan.

“Eh, a-aku baik, Han,” jawab Irfan kaku. “Kamu ... beda,” lanjutnya seraya membuat gerakan melingkar di wajahnya sendiri sebagai isyarat bahwa yang dia maksud dengan kata “beda” adalah hijab di kepala Ishana.

 Ishana mengangguk sambil memaksakan satu senyuman. Arjuna yang mendengar Ishana menyapa Irfan segera melepas pelukannya pada Ziva. Dia lantas berdiri seraya menatap wajah mantan istrinya.

“Apa kabar, Han?” sapanya dengan suara serak.

“Ba-baik, Mas,” jawab Ishana canggung. 

Ketika Arjuna maju selangkah, Ishana mundur selangkah dengan gugup. Sepandai apa pun dia menyembunyikan perasaan, tetap saja sorot matanya tidak bisa bohong. Ishana juga merindukan Arjuna. Perpisahan yang begitu cepat membuatnya kesulitan untuk bangkit dari keterpurukan.

Susah payah Ishana menahan debar di dada dan berusaha bersikap sewajar mungkin di hadapan Arjuna, meski rasa terkejut belum hilang sepenuhnya. 

“Aku bikin minuman dulu, ya,” ucap Ishana sambil berlalu menuju dapur. 

Ketika dia sedang mengaduk gula di dalam cangkir teh, sebuah suara dari belakang mengejutkannya. 

Lihat selengkapnya