Jika bersamamu adalah hal yang menyakitkan lantas mengapa ketika melepasmu tidak membuatku bahagia?
***
Ishana memandang keluar jendela kamar. Bayangan masa lalu tiba-tiba melintas di kepalanya. Ishana mencoba mengabaikan, tetapi tetap saja tidak bisa hilang. Mereka tidak ada hubungan apa pun saat ini, seharusnya dia tidak perlu lagi memikirkan pria itu. Namun, tidak bisa dipungkiri ada Raka dan Ziva di antara mereka.
Ishana sadar bahwa sudah seharusnya dia menjalin kembali komunikasi dengan mantan suaminya demi kepentingan kedua anak mereka.
Empat tahun berlalu. Dalam waktu selama itu Arjuna sudah banyak berubah. Tubuhnya jauh lebih kurus, garis wajahnya juga terlihat tegas dan dewasa. Bulu-bulu halus tumbuh di sekitar rahangnya. Rambutnya yang dulu rapi kini sedikit panjang. Namun, wajahnya tetap tampan.
“Mau sampai kapan lo seperti ini, Han?” suara Arini membuat Ishana menoleh.
Wanita cantik itu berdiri di ambang pintu kamarnya. “Ibu bilang tadi pagi Arjuna ke sini?”
Ishana mengangguk. “Lo jam berapa dari Jakarta? Jam segini udah sampai di sini aja.”
“Nggak usah mengalihkan pembicaraan, deh.” Arini mengempas tubuh mungilnya ke ranjang empuk Ishana. “Mulai sekarang jangan pernah pikirin lagi si Arjuna itu. Pengkhianat itu pasangannya, ya, pengkhianat juga.”
Ishana menunduk. Meski pedas, ucapan Arini ada benarnya juga.
“Move on, Han, Move on! Buktiin sama dia kalau hidup lo sama Ziva bisa jauh lebih baik tanpa dia. Lagian dia, kan, udah bahagia sama pelakor itu. Mereka berdua cocok, sama-sama pengkhianat! Jangan ngerugiin diri lo sendiri, Hana!” tutur Arini dengan raut wajah kesal.
“Tapi, mau gimana juga, Mas Juna itu ayahnya Raka sama Ziva, Rin. Aku nggak bisa tutup mata gitu aja. Ini bener-bener nggak mudah buat aku. Ada anak-anak,” ujar Ishana pelan.